MENUNGGU HINGGA SUNYI YANG SEMPURNA

30 Mei 2012

Saat detik merangkak menyambut waktu Subuh… Ada sosok yang tengah berpikir di kolong langit Mengeja konstelasi bintang Mencoba cari petunjuk ‘tuk temukan jawaban Ada setitik keraguan, menjadi sandungan bagi tekadnya Bersama sebuah kisah yang mengembara sendirian, tanpa berkawan Hening melintas menggulirkan waktu Kembali batinnya mengeja angka Hatinya mendesah… Betapa berlikunya jalan menuju keikhlasan Betapa berat menjaga suasana hati yang sudah terkondisi agar tidak terkotori Membuat jiwanya semakin ‘kaya’ (semoga…) Batinnya pun mengamini “Bahwa hidup menawarkan warna lain dari yang selama ini ia jalani” Mendamba sebuah ketegaran Ketegaran yang tidak mudah menguap oleh waktu Berharap temukan sebuah senyum Senyuman paling melegakan sepanjang hidup… “Ya Rabb, inikah kebahagiaan yang Kau ‘tunda’ untuknya?” *** “Kesedihan tak perlu diberi nama Dan kebahagian itu kita sendiri yang menciptakannya… Karena Tuhan mencintaimu lebih dari yang kamu perlu” Saat langit malam terlukis sinar bintang dengan kecemerlangan yang tak berbanding… [Keisya Avicenna, 15 Maret 2011…Jelang Peristiwa Subuh di Masjid Perjuangan NH IC] “Tidak ada seorangpun yang tahu di mana ujung dari HITAM PUTIH PENANTIAN-nya, maka selalu berbaiksangkalah kepada-Nya, buatlah Dia selalu tersenyum karena kita…” [Kun Geia] “PENANTIAN SUNYI” Melangkahlah ia, antara menapak dan melayang, menyusuri jejak-jejak musim. Mengharap terpandang seluruh sisi bukit, berikut wajah-wajah tua yang letih menatap zaman. Selangkah berganti hatinya menderu hingga semak ilalang tersyahdu mendengar kelunya dan pepohonan kering mendengar desahnya. Ketika aku memandang langit, ia terhampar dengan keangkuhannya, enggan menangis atau tak bisa. Padahal bumi slalu merindu, menunggu, kadang membisu. Hingga senja rebah saat langkah terhenti, matanya masih menatap sayu. Hati pun masih sendiri, alam enggan mendengar ia bernyanyi, menangis, atau berjanji. Berteduh di bawah atap bambu, menghela sendinya yang terasa beku. Malam itu ia menatap ke tengah hutan, menjelajah sudut-sudut kerimbunan. Saat serigala enggan bernyanyi, sembunyi berselimut kemalasan. Bulan pun tak bersedia menyapa, enggan naik atau sekedar tertutup awan. Langit malam itu mulai berurai tetes-tetes hujan, menandai berganti musim atau hanya pesan kerinduan. Matanya berkaca-kaca membias tetes-tetes hujan, membiarkan larut membasahi penantian. Ia melangkah kembali. Dia dan malam, tiba pada kelelahan. Langkah yang mengusung beban penantian terpaku di bibir danau. Hujan, pembawa kerinduan dan kehidupan telah berhenti membasuh bumi. Langit kini bertahtakan bintang, ramah bertegur sapa pada kelamnya malam. Sinar bulan sabit memecahkan lamunan, menuntun pandangannya menyambut tetes-tetes hujan yang membiaskan sinar bintang dan rembulan. Saat itu tubuhnya rebah mencium tanah, sekadar menyandarkan kelelahan dan kerinduan. Fajar di hari muda berbinar terang setelah kaki melangkah jauh. Setelah badan tertopang letih, setelah jiwa terselimuti kerinduan, setelah berharap menjadi kehidupan. Musim semi telah datang membinarkan kesayuan alam. Sepagi itu mentari merangkak menyentuh kebangunannya, sepagi itu nyanyian burung menggemakan nyanyian hatinya. Sepagi itu ia bangun dan tersenyum, masa penantiannya telah ditinggalkan jauh di puncak bukit, masa kesendiriannya tersesat di dalam hutan, dan masa kerinduannya telah tenggelam di dasar danau. Sekarang, ia sampai pada ujung penantian. Ada yang mendengar ia bernyanyi, menangis, atau berjanji. *catatan untuk Vay [Keisya Avicenna]