PENGALAMANKU BELAJAR
MENULIS NOVEL ANAK-ANAK
Oleh: Dian Kristiani
“Aku? Nulis novel? Enggak dulu deh. Aku hanya bisa
nulis cerita pendek,” dulu aku selalu berkata begitu di dalam hati. Dan, you are what you think!
Ternyata, kalau berpikir enggak mampu, ya jadi
enggak mampu beneran ya. Hehe.
Lama-lama, setelah (merasa) mampu menulis cerita
pendek, saya pengen banget meng-upgrade
skill, pengen bisa menulis novel anak!
Gayung bersambut. Sinopsis saya lolos untuk sebuah
workshop yang diadakan oleh sebuah penerbit.
Namun sayang, mungkin karena alam bawah sadar saya
masih terus mem-brain wash saya dengan, “Memangnya kamu bisa?” maka saya tidak
mendapat hasil apa-apa dari workshop tersebut.
Mungkin, saya juga menggampangkan.
“Ah, novel itu kan sama saja dengan bikin cerpen.
Tapi cerpennya nyambung dari satu bab ke bab lain, titik,”
“Yang penting nulis. Abaikan dulu segala teori menulis,”
“Yang penting nulis. Abaikan dulu segala teori menulis,”
Hasilnya? Novel saya tidak lolos. Dan sampai
sekarang novel itu masih duduk manis di harddisk saya, tanpa saya tau mau saya
apakan ^^
Sejak kejadian itu, tekad saya semakin bulat. Bahwa saya tidak akan menulis novel!
Haha, hebat ya? Punya tekad baja untuk tidak melakukan sesuatu.
Sejak kejadian itu, tekad saya semakin bulat. Bahwa saya tidak akan menulis novel!
Haha, hebat ya? Punya tekad baja untuk tidak melakukan sesuatu.
Namun, ternyata tidak bisa.
Ada dorongan kuat dari dalam diri saya, untuk tidak
“jalan di tempat”. Saya tahu, saya PASTI mampu, jika saya membuang keraguan
saya, PLUS membuang tingkah “menyepelekan” itu.
“Someday, I will
write my novel,” begitu janji saya dalam hati.
Semesta seperti mendukung. Tak lama kemudian, ada
audisi lagi untuk mengikuti workshop menulis. Sayangnya, itu bukan untuk novel
anak-anak, melainkan untuk novel romance.
Ah, tapi apa bedanya? Saya pikir, tekniknya pasti
sama. Maka, saya pun nekad mengirim sinopsis untuk proses audisi.
Mbikin sinopsisnya cepet banget (well, saya memang
cepet kalo bikin sinopsis, tapi pas eksekusi bisa ngowoh berkepanjangan). Saya emailkan, dan Alhamdulillah saya lolos J
Workshop pun dimulai.
Dan yang paling membuat saya lega adalah, saat
mentornya berkata, “Semua bisa dipelajari, dan semua itu ada tekniknya. Ketika
kamu sudah tahu susunan tulangnya, dagingnya bisa kamu sesuaikan sendiri. The most important thing is, TULANGnya
kudu bener,”
Semangat saya berkobar. Saya jadi rajiiiin banget
mencatat semua omongan mentor. Semua ada tekniknya!
Dan ternyata benar. Dari workshop tersebut, saya
baru tahu apa itu premis. Saat itu kami
“dipaksa” menyetor premis dari novel yang akan kami tulis.
Premis adalah INTI dasar cerita. Mentor
mencontohkan, premis Harry Potter adalah “bertahan hidup”. Dan dalam tiap2 ceritanya,
ada ide dan tema-tema lain. Tapi meski banyak ide dan tema lain, premisnya
tetap sama. Yaitu tentang usaha bertahan hidup seorang anak laki-laki yang juga
seorang penyihir.
Nah, sudahkah sinopsis kita memiliki premis?
Selain itu, saya juga belajar bahwa dalam tiap
paragraph, hanya boleh ada satu permasalahan. Nggak boleh berjejal-jejal kayak
penumpang Kopaja. Tiap ganti masalah, harus ganti paragraph. Duileh, kok selama
ini saya nggak merhatiin yang beginian ya?
Setelah premis, langkah berikutnya adalah mengurai
premis tersebut menjadi ide-ide khusus. Juga tentukan karakter dan settingmu.
Ruwet? Ndak
juga.
Setelah sinopsis jadi, ide khusus pun sudah
diuraikan dalam bentuk plot cerita, maka mulailah kami semua menulis.
Saat itu, target dari penerbit ybs adalah 45 ribu
kata.
Huaa, kebayang kan saya yang biasanya cuma nulis
300an kata per cerita, harus bertungkus lumus menulis 45rb kata?
Namun, karena plot, karakter, dan setting sudah saya
bikin dengan jelas, saya nulisnya ya ndak berat-berat amat. Yang berat adalah:
SAYA TIDAK TERBIASA ROMANTIS!
Eh tapi saya keingetan lagi, kata si mentor, “Romance itu tidak berarti romantis, dan romantis tidak otomatis menjadi romance,”
Eh tapi saya keingetan lagi, kata si mentor, “Romance itu tidak berarti romantis, dan romantis tidak otomatis menjadi romance,”
Aha! Jadi saya pun menulis apa adanya, dengan gaya
saya sendiri. Bukan dengan diksi indah nan puitis. Really, it’s not my expertise.
Novel pun (Alhamdulillah) selesai, dan saya kirim
untuk penilaian akhir.
Hasilnya? TIDAK LOLOS. Hihihihi.
Sedihkah saya? Tentu tidaaaak. Karena ada satu
kegembiraan yang luar biasa: SAYA UDAH BISA BIKIN NOVEL 45 RIBU KATA!
Dan saya semakin bersemangat, karena pemred penerbit
ybs bilang, bahwa novel yang saya tulis tidak sejalan dengan keinginan penerbit
tsb (terlalu banyak komedinya). Namun, beliau YAKIN, jika saya mengirimkan
novel saya ke penerbit lain yang sedang mencari novel romance comedy, pasti
novel saya diambil!
Ah, tapi nanti dulu deh. Saya masih banyak kerjaan
lain. Ini itu sok sibuk deh. Saya bahkan tidak sempat menengok lagi novel saya
itu. (Singkat cerita, novel ini akhirnya udah diACC oleh satu penerbit dan
sedang dalam proses editing).
Berikutnya, bagaimana kok akhirnya saya nulis novel
anak-anak?
Ceritanya, Penerbit Kiddo kontek saya. Menawarkan
pada saya untuk menulis pictorial book dengan tema bla bla. Saya diminta ikutan
pitching.
Eh, saya kalah pitching. La iya, wong yang ikut
pitching kaliber piala dunia :p
Trus, di saat yang sama, kakak saya, Kiki Kristiani,
yang baru saja menyelesaikan novelnya hasil bimbingan kelas Mbak Ary Nilandari,
bertanya ke saya enaknya dikirim ke siapa?
Saya jawab, coba aja ke Penerbit Kiddo. Dan dia pun
menghubungi pihak Kiddo.
Ternyata, novel itu diACC! Hebat juga dia. Baru
sekali menulis novel, udah langsung diACC aja. Hasil gemblengan Mbak Ary sih,
hihihi.
Lalu, Penerbit Kiddo menghubungi saya lagi. Mereka
berencana membuat serial untuk mendampingi novel Kiki yang memang bertema
tentang persahabatan hewan dan anak.
Saya pun merekomendasikan beberapa teman, yang saya
tahu gape menulis novel.
Tapi, pihak Kiddo juga meminta saya untuk ikut
menulis.
Huaa? Saya pun galau.
Tahu nggak, saat saya menulis novel romance, saya
sempat kepikiran. Inilah novel “Alfa Omega” alias yang pertama dan yang
terakhir, hehe (karena benar-benar butuh pikiran, waktu, dan proses self edit
yang maha dahsyat).
Tapi saya pikir lagi, masa sih saya nolak? Kalau
45rb kata saja saya mampu, mosok sekitar 9ribuan kata kok nggak mampu?
Saya pun akhirnya mengambil jalan tengah, kirim
sinopsis dulu deh J
Eh, ternyata sinopsisnya disukai! Jangan tanya
idenya dari mana. Untuk novel seri Pet-O-Love-Gic nya Penerbit Kiddo ini,
ide-idenya dapat begitu saja. Langsung nemplok di ujung jari (Alhamdulilah).
Saya pun mengamalkan lagi ilmu dan teknik yang saya
dapatkan di workshop. Saya bikin lembar karakter, plot per bab, dst dst.
Saya meminta deadline tiga minggu, tapi ternyata
saya bisa menyelesaikannya dalam dua minggu.
Revisi tentu ada (apalagi ada perubahan konsep
awal), namun tidak besar. Revisi kecil-kecil saja.
Saya bersyukur, editornya baiiiiik bangettt.
Masukan-masukan dari beliau amat bernas, dan menjadikan kualitas naskah saya
jauh lebih baik.
Setelah novel pertama ini selesai, eh saya diminta
untuk bikin novel ke dua. Huaaa. Baru saja saya bernapas lega, eh jadi sesak
napas lagi.
Saya benar-benar mati gaya, saat diminta menulis
tentang leopard gecko!
Apaan sih? Bukannya binatang peliharaan tuh ya yang
manis-manis saja? Kenapa melihara tokek? Bagaimana mungkin saya bisa menuliskan
sesuatu yang saya takuti setengah mati, dalam sebuah novel yang manis, lucu,
dan mengharubiru?
Aih, tapi daripada galau dan bingung, lebih baik
browsing saja tentang leopard gecko. Setelah browsing, saya tahu kalau gecko
ini harganya mahal. Dan tiba-tiba TRIIINNGGG …. Saya tahu saya mau nulis apa!
Akhirnya, novel kedua ini juga selesai dalam waktu
dua minggu. Tak ada revisi yang berarti juga.
Editor (kayaknya) puas, dan saya sendiri sebagai
penulisnya juga suka banget saat membaca novel saya sendiri. Berkali-kali saya membaca proof, dan
berkali-kali pula saya tertawa, terharu, dan menggumam “how sweet”.
Nah, jadi sebenarnya, dari tulisan saya yang panjang
lebar dan tak jelas mau ke mana ini, saya hanya mau memberitahukan.
Kalau memang ada
niat untuk menulis sesuatu, dan kalian tahu bahwa sebenarnya kalian memiliki
kemampuan di situ, go grab for it!
Cari tahu tekniknya. Semua ada tekniknya.
Dulu saya setuju dengan kalimat, “Tulis aja, nggak
perlu teknik-teknikan,”
Namun untuk bisa menulis novel, ternyata saya butuh
teknik.
Teknik bisa didapatkan dari mana saja. Sebenarnya,
kalau rajin googling, saya pun bisa dapat info tentang teknik menulis novel.
Tapi mendapat penjelasan face to face, jauh lebih membantu saya yang agak lola
ini, untuk mengerti teknik-teknik tersebut. Jadi, saya memburu workshop offline
J
Nah, buat yang mau belajar, tak ada kata tak bisa.
Tapi kalau memang passion dan niatnya tidak di novel anak-anak, ya free yourself dari pikiran ‘kok yang
lain bisa nulis novel anak? Kok aku nggak bisa?’
La kalau passionnya memang nggak di situ, bagaimana
mau niat?
Jadi, ujung-ujungnya memang kembali ke passion J
Passion saya mau menjadi penulis bacaan anak yang
baik. Jadi saya tidak mau hanya mengandalkan bakat alam, dan saya mau tulisan
saya HARUS lebih baik dari hari ke hari. Saya tidak mau bermegah diri dengan
berkoar-koar berapa buku yang sudah saya terbitkan, lalu memandang sebelah mata
pada orang yang bicara teori dan teknik. No, kalau memang cocok untuk saya, why
not?
Saya tidak mau berhenti di pictorial book saja. Saya
juga ingin menyajikan novel anak yang baik untuk pembaca setia saya, salah
satunya yaitu Edgard yang udah 9 tahun.
Sekali lagi, passion saya adalah mau menjadi penulis
bacaan anak yang baik. Jika nanti ada novel dewasa yang terbit, sungguh itu
passion yang ke-2 J *mbulet*
Note:
Cuplikan tentang
premis, saya dapatkan dari materi workshop dengan Gradien Mediatama.
0 komentar:
Posting Komentar