Misi keberadaan kita di dunia ini tiada lain kecuali menjadi rahmat bagi semesta alam. Allah Subhanahu Wa ta’ala berfirman, artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. 21 : 107). Rahmat dalam pengertian menebarkan kasih sayang dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi umat.
Pelaksanaan misi mulia tersebut mengharuskan kita untuk terjun dalam ranah dakwah. Ya, dakwah. Mengapa? Sebab hanya jalan dakwah –sesuai tuntunan dan contoh nabi tentunya - kasih sayang dan manfaat yang sebesar-besarnya bisa sampai dan didirasakan oleh manusia bahkan alam semesta. Sedangkan jalan selain dakwah adalah jalan yang penuh ketidakpastian dan keraguan. Jalan yang seringkali menggelincirkan seseorang kepada sikap egois . Jalan yang tidak menghantarkan pada misi mulia keberadaan manusia.
Itulah sebabnya Allah Subhanahu Wa ta’ala menjadikan jalan orang-orang yang berdakwah, menyeru kepada kebaikan (ma’ruf) dan mencegah dari kemungkaran sebagai jalan yang terbaik nan mulia sepanjang masa. Bukankah Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya : “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. 41 : 33). Karena itu, amat ironis jika ada seorang muslim yang secara sadar dan sengaja meninggalkan jalan dakwah ini.
Dimensi Dakwah
Perkembangan dakwah hari ini, telah memperlihatkan dinamika yang cukup besar. Dahulu, sebagian kita mengenal dakwah dalam wujud ceramah – ceramah dari para muballigh, dari yang kondang dengan “sejuta umat” hingga kiyai pada surau –surau desa. Namun kini, dakwah menjadi begitu luas dan inklusif, selain karena ruhiyah dakwah yang memang harus demikian, walhamdulillah, keadaan umat hari ini yang semakin rusak memaksa kita untuk segera kembali memegang tali agama Allah yang suci, agar tidak terjatuh dalam “lubang”, hasil konspirasi musuh – musuh Islam, menjauhkan umatnya dari aturan – aturan ilahi yang selamat nan agung.
Dalam dimensi dakwah, kita mengenal dakwah umum (‘ammah) dan dakwah khusus (khossoh). Dakwah umum (‘ammah) adalah dakwah yang ditujukan kepada masyarakat secara umum, untuk cakupan (objek) yang luas dan tanpa adanya hubungan yang intensif antara da’i (orang yang berdakwah) dengan mad’u (orang yang didakwahi). Sebagian besar fenomena dakwah yang ada seperti di masjid – masjid, radio, televisi, media cetak dan lainnya adalah dakwah ‘ammah. Sedangkan dakwah khusus (khossoh) adalah dakwah kepada orang-orang terbatas dan cakupan (objek) tertentu. Dalam dakwah khusus ini, hubungan antara da’i dan mad’u berlangsung intensif, dengan materi – materi dan sasaran dakwah tertentu. Umumnya, mad’u pada dakwah tahapan khusus ini dikumpulkan dalam sebuah kelompok-kelompok kecil yang disebut dengan halaqah. Istilah yang biasa kita kenal sebagai usrah, tarbiyah, mentoring dan lainnya. Di dalam halaqah inilah para mad’u dibina oleh seorang murobbi (pembina)
Peran Murobbi
Dalam sebuah halaqah, murobbi bertindak sebagai qiyadah (pemimpin), ustadz (guru), walid (orang tua), dan shahabah (sahabat) bagi mad’unya. Peran yang multifungi itu mengharuskan seorang murobbi memiliki berbagai kompetensi, antara lain kompetensi untuk memimpin, mengajar, membimbing, dan bergaul. Biasanya, kompetensi dan keterampilan tersebut akan berkembang sesuai dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman seseorang sebagai murobbi.
Karena itulah peran murobbi berbeda dengan peran ustadz, muballigh atau penceramah pada tataran dakwah ‘ammah. Jika peran muballigh titik tekannya pada penyampaian materi-materi Islam secara menarik dan menyentuh hati, maka murobbi memiliki peran yang lebih kompleks dari itu. Murobbi perlu melakukan hubungan yang intensif dengan mad’unya. Ia perlu mengenal “luar dalam” mad’unya melalui hubungan yang dekat dan akrab. Ia juga memiliki tanggung jawab untuk membantu permasalahan mad’unya sekaligus bertindak sebagai pembina mental, spritual, dan (bahkan) jasmani mad’unya. Peran ini relatif tidak ada pada diri seorang muballigh. Karena itulah, mencetak murobbi sukses lebih sulit daripada mencetak muballigh sukses.
Dalam skala makro, keberadaan murobbi sangat penting bagi keberlangsungan perjuangan Islam. Dari tangan murobbilah lahir kader-kader dakwah yang tangguh dan handal memperjuangkan Islam. Jika dari tangan muballigh lahir orang-orang yang “melek’ terhadap pentingnya Islam dalam kehidupan, maka murobbi melanjutkan kondisi “melek” tersebut menjadi kondisi terlibat dan terikat dalam perjuangan Islam. Urgensi murobbi dalam perjuangan Islam bukan hanya sebatas retorika atau tataran teori belaka, tapi sudah dibuktikan dalam perjalanan sejarah panjang umat Islam. Dimulai oleh Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam sendiri ketika beliau menjadi murobbi bagi para sahabatnya di Darul Arqam. Kemudian dilanjutkan oleh para ulama terdahulu salaf (terdahulu) yang shalih, sampai akhirnya dipraktekkan oleh berbagai harakah (gerakan) Islam di seluruh belahan dunia hingga saat ini. Tongkat esatafet perjuangan Islam tersebut dilakukan oleh para murobbi yang sukses membina kader- kader dakwah yang tangguh.
Kendala Yang Kerap Dihadapi
Pada intinya, umat Islam tak mungkin mencapai cita-citanya jika dari tubuh umat Islam itu sendiri belum lahir sebanyak-banyaknya murobbi handal yang ikhlas mengajak umat untuk memperjuangkan Islam. Mengingat begitu pentingnya peran murobbi dalam keberlangsungan eksistensi umat dan dakwah, sudah seharusnya kita memiliki keseriusan untuk mencetak murobbi-murobbi sukses. Namun ternyata mencetak murobbi sukses bukanlah hal yang mudah. Ada berbagai kendala yang menghadang. Kendala tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga bagian.
1. Kemauan.
Yakni, belum adanya kesadaran dan motivasi yang tinggi dari sebagian kita untuk menjadi murobbi. Hal ini mungkin disebabkan antara lain karena kita belum tahu atau tidak mau tahu akan urgensi seorang murobbi, belum percaya diri untuk menjadi murobbi, atau karena peran dan posisi murabbi dalam masyarakat Islam dianggap tidak prestisus. Padahal, ia begitu prestisus di hadapan Allah Azza Wa Jalla.
2. Kemampuan.
Yakni, minimnya pengetahuan, keterampilan dan pengalaman menjadi murobbi. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, murobbi ideal adalah sosok paripurna. Sehingga ia menjadi multifungsi yang membutuhkan berbagai kemampuan yang perlu terus ditingkatkan. Beberapa kemampuan yang perlu dimiliki, misalnya pengetahuan agama, dakwah, pendidikan, organisasi, manajemen, psikologi, dan lain-lain. Kemampuan ini masih terbatas dimiliki oleh kebanyakan umat.
3. Kesempatan.
Yakni, ketiadaan waktu dan kesempatan untuk menjadi murobbi. Kehidupan dunia yang penuh godaan materi ini membuat orang terlena untuk mengejarnya, sehingga tak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang strategis. Termasuk di dalamnya tak punya waktu untuk serius menjadi murobbi. Padahal keberlangsungan dan eksistensi umat sangat tergantung pada keberadaan murobbi-murobbi handal.
Mestinya, berbagai kendala tersebut dapat diatasi dengan kekuatan iman dan taqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tanpa kekuatan iman dan taqwa, obsesi menjadi murobbi sukses menjadi musykil dilakukan.
Keutamaan Murabbi
Sebenarnya, fadhilah (keutamaan) seorang murabbi sebagai da’i bagi umat, menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran, terlalu banyak untuk kita tuliskan di sini. Akan tetapi, karena peran murabbi adalah peran yang khusus dan spesifik yang tidak ada dalam peran seorang muballigh, maka perlu untuk kita sebutkan beberapa fadhilah/keutamaan murabbi dalam sebuah halaqah tarbiyah.
1. Menjalankan Sunnah Rasul.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membina sahabat-sahabatnya dalam sebuah halaqah. Beliau membina halaqah selama hidupnya, baik ketika di Mekah (contohnya di Darul Arqam) maupun di Madinah (contohnya majelis ilmu di Masjid Nabawi). Jadi, menjadi murobbi berarti melaksanakan sunnah rasul (kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).
2. Mendapatkan Pahala Yang Berlipat Ganda.
Barangsiapa yang mengajarkan Islam kepada orang lain maka ia akan mendapatkan pahala. Semakin efektif sarana pengajarannya, semakin berlipat ganda pahala yang akan didapatkan. Halaqah adalah sarana yang paling efektif untuk mengajar Islam. Karena itu, menjadi murobbi akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.
3. Mencetak Pribadi-Pribadi Unggul
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah murobbi yang telah berhasil mencetak generasi terbaik sepanjang masa. Oleh sebab itu, menjadi murobbi berarti turut membina pribadi-pribadi unggul harapan umat dan bangsa. Sangat aneh jika seorang muslim tidak mau menjadi murobbi padahal ia sebenarnya sedang melakukan tugas yang besar dan penting bagi masa depan umat dan bangsa.
4. Belajar Berbagai Keterampilan
Dengan membina, seorang murobbi akan belajar tentang berbagai hal. Misalnya, ia akan belajar tentang bagaimana cara meningkatkan kepercayaan diri, komunikasi, bergaul, mengemukakan pendapat, mempengaruhi orang lain, merencanakan sesuatu, menilai orang lain, mengatur waktu, mengkreasikan sesuatu, mendengar pendapat orang lain, mempercayai orang lain, dan lain sebagainya. Pembelajaran tersebut belum tentu didapatkan di sekolah formal. Padahal manfaatnya begitu besar, bukan hanya akan meningkatkan kualitas pembinaan selanjutnya, tapi juga bermanfaat untuk kesuksesan hidup seseorang.
5. Meningkatkan Iman Dan Taqwa.
Dengan menjadi murobbi, seseorang akan dapat meningkatkan iman dan taqwanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Secara psikologis, orang yang mengajarkan orang lain akan merasa seperti menasehati dirinya sendiri. Ia akan berupaya meningkatkan iman dan taqwanya kepada Allah seperti yang ia ajarkan kepada orang lain. Dampaknya, hidupnya akan menjadi tenang karena dekat dengan Allah dan terhindar dari kemaksiatan.
6. Melatih Diri Dalam Jama’i.
Seorang murabbi yang membina mad’u dalam sebuah kebersamaan halaqah, mampu menjadi pengatur dan manajer dalam sebuah amal jama’i yakni amal yang dibangun dalam sebuah tanzhim/manajemn dakwah. Dan pada giliran yang lain, iapun mampu menjadi salah satu pasukan dalam tataran atau barisan pelaksana. Hal ini sangat penting dalam dalam pencapaian tujuan sebuah amal jama’i.
7. Merasakan Manisnya Ukhuwah
Untuk mencapai sasaran-sasaran halaqah, murobbi dituntut mampu bekerjasama dengan peserta halaqah. Kerjasama tersebut akan berbuah pada manisnya ukhuwah Islamiyah di antara murobbi dan mad’u. Betapa banyak orang Islam yang tidak dapat merasakan manisnya ukhuwah. Namun dengan menjadi murobbi, seorang muslim akan berpeluang untuk merasakan manisnya ukhuwah.
Akhirnya
Dengan memahami peran dan urgensi seorang murobbi bagi agama dan umat, tak ada alasan lagi bagi kita untuk mengelak menjadi murobbi. Kita harus berupaya sekuat tenaga untuk menjadikan diri kita sebagai murobbi yang sukses membina mad’u. Inilah pekerjaan besar yang masih banyak “lowongannya”. Inilah tugas besar yang menanti kita untuk meresponnya. Mari menjadi murobbi!. Wallahu A’lam.
Bahan Bacaan : Menjadi Murabbi Sukses, Satria Hadi Lubis
SANG MUROBBI
26 November 2009
Diposting oleh
KEISYA AVICENNA
di
Kamis, November 26, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar