Sebuah Catatan Perjalanan Hari Kedua di Usia Seperempat Abad Kurang Satu
Aktivitas pagi yang luar biasaaaa…sibuk. Hehe. Hari ini tanggal merah, otomatis libur euy. Tapi Nung sedari pagi dah habis 2 buku. Baca maksudnya… Hehe…nylesein bukunya Asma Nadia. Sekitar jam 09.45 nyalain Doralepito. Rencana ‘satu jam saja’ nulis, tapi baru dapat setengah jam, seorang sahabat (satu kost juga), ngajakin jalan-jalan. Yadah deh...dari tadi pagi Nung juga dah bilang pengen banget hari ini “mbolang” menjelajah SoLo.
Akhirnya jam 10.30 kita berangkat. Sipsip…melewati sepanjang jalan depan Rumah Sakit Moewardi sampai perempatan Panggung…mencoba mengoptimalkan panca indera, menangkap “sesuatu” yang bisa diletakkan di hati. Ada beberapa hal unik yang berhasil Nung tangkap dan rekam di memori otak ini. Para musisi jalanan yang tengah beraksi di lampu merah dengan alat musik seadanya, wajah-wajah penuh gurat ketegaran dari para pedagang yang asyik menjajakan hiasan mobil yang lucu-lucu, ada seorang pria separuh baya yang selalu Nung lihat ‘mangkal’ di daerah itu. Nung jadi kepikiran dan pengin tahu kisah hidupnya. Beliau yang berjuang dengan satu kaki (maaf), selalu ada kruk kayu yang membantu menopang tubhnya. Tapi sayangnya, beliau perokok. Bagian ini yang Nung kurang suka. Hm, tapi tiap orang punya pilihan hidup masing-masing. Semangat Pak!!! (teriak batin Nung tatkala melihat beliau, untuk para tukang becak yang biasa mangkal disitu juga. Yang dulu pernah membantu Nung nyetop bis waktu mau mudik…). Ah, inilah perjuangan dalam hidup…Mereka yang rela ‘membanting tulang’ demi keluarga…(semoga keikhlasan dan rasa kesyukuran senantiasa bersemayam di dalam hati nurani mereka. Harapku…).
Tujuan perdana kita : ke PGS dan Beteng. Nung hanya ingin beli sepasang sepatu (yang murah tapi awet…^^v). Karena Nung bukan tipe shopingholic, belanja suatu barang ya kalau dah benar-benar butuh aja. Hehe…(lagi butuh sepatu soalnya, yang biasa dipake dah minta pensiun. xixi). Kelar beli sepatu, nemenin Fina milih-milih kain kebaya. Suasana Beteng n PGS siang itu cukup ramai, hari libur euy. Apalagi juga pas ada Sekatenan. Sekitar jam 12.15 kita beranjak ninggalin PGS. Lalu lintas di sekitar Gladag padat banget. Macet!!! Dengan penuh perjuangan, akhirnya kita bisa bebas meluncur. Target lokasi selanjutnya suatu tempat yang terletak di jalan Solo-Sragen. Kita sempat sholat Dhuhur di sebuah mushola kecil di tepi jalan. Kita berkenalan dengan 3 bidadari kecil yang lucu-lucu yang masih mengenakan mukena. Duh, imut-imut banget!!! (pengen tak culik…hehe). Sementara Fina menyelesaikan urusannya, Nung nunggu sambil menulis “sesuatu” di buku DNA nya. Buku yang tak pernah ketinggalan untuk selalu dibawa. Ungkapan isi hati, tepatnya. Ah, akhir-akhir ini banyak hal berputar-putar di kepala….
Ya Rabb, hanya kepadaMu hamba memohon petunjuk, berikanlah hamba kemudahan dalam setiap urusan. Amin.
15’ kemudian…Fina datang, kemudian kita pun melanjutkan perjalanan. Mendung hitam semakin bergelayut. Tetes-tetes air mata langit perlahan namun pasti mulai berjatuhan menghujam bumi. Perlahan, kemudian mulai menderas. Akhirnya, kita berteduh di warung soto kwali daging sapi Bu Pur di Jalan Adisucipto, sekalian makan siang. Enak, porsinya pas, murah lagi…cuma 1500 tiap 1 mangkok imut. Bener-bener kuliner yang mak nyuz dah…(kapan-kapan makan disini lagi ya Fin!!!). Sementara di luar sana hujan masih menderas…kita tenggelam dalam sensasi rasa yang luar biasa, menghangatkan sekaligus mengenyangkan. Alhamdulillah…
30’ kemudian…hujan dah mereda. Perjalanan dilanjutkan menuju Pameran Buku Nasional di Goro Assalam. Pengunjung siang itu juga cukup banyak. Bertemu dengan beberapa sahabat, hah..salah satunya ketemu Mas Cowie (FLP Pelangi) yang lagi nangkring di depan bapak2 yang lagi nyampulin buku. Biz itu dia sms minta traktiran…jiaaan, bener2 setipe sama Mas Tyo ni orang. Wkwkwk…gak janji lah yaw!! Kan dah lewat sehari…kesempatan makan gratis itu dah hangus. Kecuali bakal ada ‘kejutan’ lain. Hohoho… menikmati kunjungan dari satu stand ke stand yang lain. Sebenarnya banyak buku yang pengin dibeli…hm…tapi direm dulu, nanti aja nunggu Solo Islamic Book Fair bulan Maret. Nung cuma beli 2 buku masing2 harganya 5.000. hehe…murah tapi lagi ‘butuh’ bacaan kayak gitu. Yang penting isinya dahsyat dah!! Prioritas utama ke Goro mau beli jilbab-jilbab pesanan Mbak Eli yang sekarang jadi PNS di Pulau Borneo. Titipan beliau coz nyari jilbab kayak gitu cukup susah disana.
Hm, sebenarnya sore ini rencananya mau ada meeting Nibiru Readers Solo di kantin Goro. Tapi gak jadi, para 4’unyu (Kang Fachmy Casofa, Mas Aris El Durra, Ayu’, n Diah Cemut) pada sibuk mengasah pughaba masing-masing. Tetep semangat 5’unyu!!! ^^v.
Sekitar jam 15.30 hujan turun dengan sangat deras disertai angin…ngeyup dah kita sambil duduk-duduk di areal panggung. Sesekali diterpa sapuan air yang terbawa angin. Dingin juga euy…apalagi Nung gak pake jaket waktu itu. Mengedarkan pandangan berkeliling. Ada panitia yang lagi sibuk menghalau air agar tidak memasuki areal panggung, mengelap sofa-sofa yang basah, menjaga soundsystem, kemudian sosok adik-adik TPA yang mau mengikuti lomba hadrah, dan di belakang Nung ada suami-istri (masih muda kelihatannya) yang sedang asyik bercengkerama sambil menikmati kentang goreng. Duh, jadi kepengen… Kepengen kentang gorengnya!!! ^^v
Sekitar jam 16.00 hujan mulai mereda, meski masih menyisakan rintik. Akhirnya Nung dan Fina memutuskan untuk segera beranjak dari Goro. Jam 16.30 Fina juga mau ngelesi. Akhirnya, Nung diturunkan di pinggir jalan (sakne banget euy…hehe…) pulangnya Nung gak bareng Fina. Nung naik ATMO. Di tangan kiri pegang helm, tangan kanan bawa plastik berukuran sedang yang berisi sepatu dan jilbab-jilbab Mbak Eli.
Naik ATMO, Nung langsung mengambil posisi tempat duduk terdekat yang masih kosong, kebetulan di dekat pintu. Setelah duduk dengan posisi ternyaman, Nung mengedarkan pandangan. Hm, Subhanallah…ternyata yang duduk di samping Nung seorang pria setengah baya, bapak-bapak, dengan baju koko warna putih dan celana biro dongker, bersandal jepit, rambut dengan kolaborasi dua warna, hitam dan putih. Ada tongkat besi lipat yang dipegang erat dalam genggaman tangannya. (maaf) Bapak itu buta.
Seketika hati Nung luluh, gerimis…Batin ini berucap, Ya Rabb…nikmatMu yang mana lagi yang akan ku dustakan??? Mata Nung sempurna (meski sejak kelas 2 SMA harus pake kacamata, gara-gara terlalu maniak sama sebuah benda bernama BUKU)…Nung masih bisa melihat semua kebesaran-Mu, Nung masih bisa menangkap setiap warna yang Engkau lukiskan dalam kehidupan ini…sedangkan sosok yang ada di dekat Nung sekarang? Hitam, kelam, gelap…mungkin itu yang mewarnai penglihatannya secara fisik. Tapi Nung yakin, mata hati Bapak ini begitu bening, tulus… mata batin yang terang, bercahaya…
Nung mencoba memulai percakapan….
“Bapak badhe tindak pundi?”, tanya Nung.
“Ajeng teng Putri Ayu, mbak,” jawab Bapak itu.
“O…”, Nung bergumam.
“Lha Mbake ajeng mandhap pundi?”, tanya beliau.
“Sekarpace, Pak. Ajeng teng wingking kampus UNS”
Diam sesaat. Nung merenung cukup lama. Kemudian Nung jadi ingat sebuah nasyid : “JANGAN AMBIL PENGLIHATANKU”. Astaghfirullah, mata yang sempurna ini seringkali lalai, melihat yang tidak sepantasnya dilihat…(Ayo, lebih istiqomah jaga pandangan!!!). Selesai Nung bersenandung dalam hati…(tak terasa ada bulir bening di sudut mata ini) naiklah sesosok pemuda dengan rambut sedikit gondrong, tangan kirinya mengapit sebuah kruk kayu. Ya Rabb, lagi-lagi Engkau mengingatkan untuk banyak-banyak bersyukur atas kelengkapan fisik pada diri ini. Pemuda itu berjalan melewati sampingku dan duduk di jok kursi bagian belakang.
“Bapak dalemipun pundi?”, tanya Nung lagi.
“Kartosuro Mbak…”
“Namung kiyambakan to Pak? Putri Ayu niku pundi to Pak?
“Nggih mbak. Pun biasa. Putri Ayu niku sa’wetane Diamond, Mbak,” jawab Bapak itu sambil membenarkan posisi duduknya. Sesekali mendengarkan suara sang kondektur, mungkin untuk memastikan kalau tempat dimana beliau harus turun tidak terlewat.
“Lha dhateng Putri Ayu ajeng nopo, Pak?,” tanyaku semakin penasaran.
“Pados pasien Mbak…”
“O…pijet nggih Pak?”, tanyaku mencoba menebak.
“Nggih Mbak.”
Deg…di balik keterbatasannya, beliau sangat bersemangat untuk bekerja. Nung jadi mikir, bagaimana cara beliau pulang nanti??? Siapa yang akan mengantarkan beliau pulang….??? Ah, pertemuan singkat dengan bapak itu membuat gerimis di hati Nung semakin menderas saja, bersamaan dengan hujan di luar sana yang juga semakin menderas…Ya Rabbi…
Sampai di daerah Diamond, Nung bilang ke bapak itu kalau dah sampai Diamond. Kemudian beliau bersiap turun, ATMO berhenti di depan Pizza Hut. Agak kebablasan dikit. Hotel itu di sebelah kiri Pizza Hut. Tapi Nung lihat kayaknya namane bukan Putri Ayu deh. Putri apa gitu, Nung lupita. Sebelum bapak itu turun, Nung sempat bilang: “Ngatos-atos nggih Pak…”. Bapak itu tersenyum…(Jaga beliau, Ya Allah…). Detik selanjutnya, Nung tenggelam dalam “sebuah perenungan yang mendalam”…
Menikmati perjalanan ke kost dengan pikiran dan hati yang ber”MUHASABAH”!!! mengingat efisiensi waktu, Nung lebih memilih naik becak. Melihat senyum dari Pak Becak yang Nung naiki seakan memancarkan suatu semangat tersendiri. Seolah senyum itu mengisyaratkan: “Hidup itu penuh perjuangan, Nungma…!!!”. Ah, dah lama Nung gak naik becaknya Pak Katno….tukang becak dengan senyumannya yang khas. Sampai gerbang Surya, Nung turun, menyerahkan ongkos becak dan mengucapkan terima kasih. Ada beberapa barang yang harus Nung beli di toko Plenthon, setelah selesai Nung kembali berjalan ‘di bawah hujan’. Hujan-hujanan euy. Baru kali ini tas Nung tidak berfungsi sebagai kantong ajaib. Biasanya apa-apa ada. Termasuk payung. Kebetulan tadi pake tas kecil, bukan tas yang biasa Nung pake ‘mbolang’. Sekalian mampir beli maem…sesampai di kos jam 17.15. Belum ada orang. Sendirian. Langung naik ke lantai 2…dan apa yang Nung lihat…Subhanallah, rona jingga yang melukis langit, meski rintik gerimis masih membasahi bumi. Ya Rabb, Nung masih bisa menjadi saksi mata lukisan-Mu yang begitu istimewa, penuh cinta…SENJA!!!
“Aku sangat mencintai senja, seperti aku mencintai inspirasi-inspirasiku…Keremangan senja, selipkan sejuta hampa rasuki jiwa…karna rinduku belum usai…kerinduan yang belum tntas…tetapi kehadiranmu SENJA, meski sebentar namun membekas..”
Banyak hikmah hari ini….Terima kasih Ya Rabb….
Berjalan di muka bumi membuat kita belajar untuk bisa membaca “buku penciptaan” yang terbuka lebar untuk kemudian menyaksikan bagaimana PENA-PENA KEKUASAAN menuliskan tanda-tanda keindahan di atas lembaran-lembaran kehidupan. Sekali waktu, lakukanlah perjalanan untuk menyegarkan kembali suasana hidup, untuk melihat perihal dunia di luar dunianya, untuk melihat hal-hal baru, dan tempat-tempat yang lain. Perjalanan adalah sebuah kenikmatan tersendiri…dan aku sangat mencintai aktivitas ini…karena hidup itu “berjalan, mencari dan menemukan”…
[Keisya Avicenna, 3 Februari 2011…”TEPAT dan TERBAIK”, dua kata yang sangat kucintai!!! 23:03 WIB @Zona Nostalgia Romantic]
SAAT ‘PENA KEKUASAAN’ MENULISKAN TANDA KEINDAHAN DI ATAS LEMBARAN KEHIDUPAN
04 Februari 2011
Diposting oleh
KEISYA AVICENNA
di
Jumat, Februari 04, 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar