SERIAL CINTA

30 Agustus 2009



Seperti angin membadai. Kau tak melihatnya. Kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat…!!!
Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang: seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuasaan besar.
Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua jadi abu. Semua jadi tiada. Seperti itulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kekuatan angkara murka yang mengawal dan melindungi kebaikan.
Inilah obrolan manusia sepanjang masa. Inilah legenda yang tak pernah selesai. Maka abadilah Rabiah Al-Adawiyah, Rumi, Iqbal, Tagore atau Gibran karena puisi atau prosa cinta mereka. Abadilah legenda Romeo dan Juliet, Laela Majunun, Siti Nurbaya, atau Cinderella. Abadilah Taj Mahal karena kisah cinta di balik kemegahannya…
Barangkali kita memang tidak perlu definisi. Toh kita juga tidak butuh penjelasan untuk dapat merasakan terik matahari. Kita hanya perlu tahu cara kerjanya. Cara kerjanya itulah definisinya: karena -kemudian- semua keajaiban terjawab di sana.
Diambil dari Buku “Serial Cinta”, karya Anis Matta

0 komentar: