“Diary Ramadhan : Beginilah Cara Allah Mencintai”

19 Agustus 2014


July 23, 2014 at 1:11pm
Di balik hingar-bingar  pengumuman hasil Pilpres, terjadi pula hingar-bingar yang tak kalah gayeng-nya yang saya alami. Begini ceritanya... *huum.

Piye Perasaanmu?
Hihihi. Kalimat tanya itu akhir-akhir ini tengah populer antara tante (baca : saya) dan para ponakannya (baca : Ani, Desi, dan Nur). Tiap ada kejadian “unik bin nyleneh” yang menimpa kami, pasti terucap kalimat tanya itu. Mereka bertiga udah pada mudik duluan ke Klaten, sih. So, saya nggak akan memunculkan nama mereka lagi di kalimat-kalimat selanjutnya... *opo sih?

Ada cerita menarik yang membuat saya harus bertanya “Piye Perasaanmu?” pada diri saya sendiri. Ya, serius! Pada diri saya sendiri.

Kemarin sore, sepulang dari kantornya, Mas Sis ngajakin saya ke Kedai Punokawan. Ada acara buka bersama dengan para Murobbi dan Murobbiyah Banyumanik. Dalam kesempatan emas itu, saya bisa ngobrol lebih dekat dan lebih hangat dengan para ustadzah yang notabene biasanya beliau-beliau yang suka ngisi ceramah (ngasih taushiyah) dan saya yang ndengerin sambil menyerap ilmunya.

Pada akhirnya, duduk di dekat saya seorang ustadzah yang sangat saya kagumi. Ustadzah SM (main inisial aja, ya?!) Sejak pertama saya melihat ceramah beliau saat beliau mengisi seminar kemuslimahan di UDINUS, saya langsung jatuh cinta dengan gaya beliau berceramah. Sapa tahu bisa saya contoh. Hmm, copy the master, lah! Sumpeh loh, saya sempat canggung, mati gaya, mendadak kelu dan membisu... otak saya serius berpikir gimana ya biar obrolan nggak garing. Beliau orang keren di mata saya! Jam terbang ceramahnya sungguh di atas rata-rata. All out untuk umat! Uhuy, saya mendadak ingat kalau buku terbaru beliau (tentang muslimah) sudah nangkring dengan sangat elegan di rak “new arrival” Toko Buku Gramedia. Alhamdulillah, pas! Detik berikutnya saya beneran nggak nyangka kalau kita jadi terlibat obrolan yang begitu hangat terkait dunia kemuslimahan, remaja, dakwah, dan tentu saja kepenulisan.

Selanjutnya, beliau memperkenalkan keempat putrinya. Subhanallah, semuanya “calon hafidzoh”. Yang nomor tiga, masih seusia SMA sempat duduk di dekat saya. Dan dia sudah hafal 21 juz. Piye perasaanmu? *makjlebpartone! Selanjutnya, adiknya yang paling kecil kelas 2 SMP, tanggal 19 Ramadhan kemarin udah khatam 9 juz. Lha sekarang? Saya nggak berani nanya. Pasti lebih dari itu. Huaaa, piye perasaanmu? *makjlebparttwo!

Selanjutnya, ada adegan tebak-tebakan surat dan ayat dalam Alquran saat saya terlibat obrolan dengan Ustadzah SM. Ya, sering banget ketika beliau ngisi ceramah pasti ngasih tebakan surat apa dan ayat berapa berkaitan tentang sesuatu hal yang dibahas. Waktu itu, pernah sekali saya bisa jawab dan Alhamdulillah dapat doorprize parcel. Haha. Tapi prestasi saya dalam menghafal memang layak untuk lebih ditingkatkan dan diperjuangkan lebih berdarah-darah lagi. Wkwkwk. Beliau sempat tanya, “Norma, hafal doanya Nabi Musa? Coba di surat apa dan ayat berapa?” Glek! *nelenludah. Tapi, cling! Saya sempat inget apa yang pernah ditulis ustadz Yusuf Mansur dalam bukunya. “Emm... surat 28, bu. Tapi saya lupa ayat berapa?” *berasapengennelensendok. “Nanti dibuka dan dibaca lagi ya mushafnya. Itu doa yang sangat penting. Ketika kamu menginginkan sesuatu saat ini, perbanyak baca doa itu. Nih, mumpung lagi buka puasa...” Ustadzah SM kemudian menyebutkan nama surat dan ayat lengkap dengan bacaan dan artinya. Huaaa... *penginmelukAlquran. Piye perasaanmu? *makjlebpartthree.

Selesai buka bersama, saya tercenung dalam ke”cenung”an saya yang teramat dalam. Introspeksi diri. Saya belum sibuk, ya saya belum sibuk dengan keremphongan sedemikian rupa. Saya harus malu dengan seorang ibu yang anaknya lebih dari 4 tapi sepak terjangnya di dunia dakwah luar biasa, dengan tetap memproritaskan urusan rumah tangga dan keluarganya, seorang ibu yang tetap berjuang menjaga dan meningkatkan hafalan Qurannya, seorang ibu dengan mobilitas tinggi dengan seabrek aktivitasnya. Hah, saya harus malu dengan ketersiaan waktu yang saya habiskan percuma bukan malah saya manfaatkan untuk hal-hal kebaikan. Lebih banyak waktu saya habiskan untuk hal-hal nggak penting daripada menyibukkan diri ngapalin Quran, ngapalin hadits Arba’in, baca buku agama, dll. Piye perasaanmu, Nung? “Urip iku gur mampir ngombe, Nung!” Ya Rabb... faghfirlii... faghfirlii... *makjlebpartfour.

Keremphongan episode kedua masih di hari yang sama dan hari berikutnya...
Dengan gelora semangat meraih Lailatul Qadr, seperti malam-malam sebelumnya, Allah SWT masih mengizinkan saya untuk melaksanakan salah satu sunah di 10 hari terakhir Ramadhan, yakni I’tikaf. Selama ini, saya dan Mas Sis beda masjid. Saya di Masjid Kampus UNDIP, Mas Sis di Masjid As-salam bersama bapak-bapak yang lain.

Malam itu terasa berbeda. Saya bertemu Ania. Kita terlibat obrolan seru terkait pilpres dan masih banyak lagi. Sampai akhirnya kita sibuk dengan aktivitas masing-masing. Sebelum saya tidur, saya sempat baca status BBM teman yang mengatakan kalau “Prof. Eko meninggal dunia.” Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Semoga khusnul khotimah. Selamat jalan, inspiratorku! T_T

Sempat tertidur 2 jam, lanjut khusyuk dalam munajat panjang dan selanjutnya makan sahur bareng-bareng. Setelah wudhu dan persiapan sholat Subuh, saya sempat baca SMS masuk. Tertulis “Mbak Messy”. Huuuat? Ada apa ini? Tumben Mbak Messy SMS. Beliau adalah tetangga depan rumah. Perasaan saya mengatakan ada yang tidak beres. Saya baca SMSnya dengan kondisi hati yang tak karuan sambil terus istighfar... *hihilebaydehgue.

“Assalamualaikum. Maaf mb norma, tadi air kran dari dalam rumah luber sampai airnya ngalir ke teras. Tapi sudah dimatikan dari depan sama bu heri. Makasih.”

Huaaa, pikiran saya langung kemana-mana. Saya langsung telp Bu Heri. Dan ternyata benar. Anaknya jadi saksi mata ada air yang keluar dari dalam rumah. Huaaaaat... Frekuensi detak jantung saya sudah di atas ambang batas normal. Istana 77 tercintaku banjir lokal? Apa kran kamar mandi belum saya matiin? Perasaan udah deh! Apa kran di bak cucian piring, ya? Di pikiran saya langsung berkecamuk bayangan macem-macem. Mencoba menganalisa. Kalau yang luber bak kamar mandi sepertinya nggak bakal sampai keluar rumah deh. Kan batasnya dengan pintu kamar mandi cukup tinggi. Kalau yang dari bak cuci piring bisa jadi. Saya sudah mbayangin daerah yang basah mana saja. Termasuk yang saya bayangin kamar saya dan kamar ponakan saya. Kamar saya bednya masih di bawah cuman dialasi karpet. Ada laptop lama saya di bawah meja juga. Sedangkan kamar ponakan, ada kasur kapuk yang cuma beralas tikar, baju-bajunya yang belum sempat disetrika *dah keburu mudik, dan mungkin kardus tempat biasa dia nyimpan fotokopian materi kuliahnya. Dah, saya nggak bisa bayangin kalau aset berharga rumah tangga itu basah kuyup karena banjir lokal. Masih ada lagi di ruang perpustakaan, ada beberapa kardus yang isinya “titipan buku CCI” nya Bunda Darosy sama buku Beauty Jannaty yang mau saya “return” ke TS karena cacat.

Oh ya, di perumahan kami (saya masih ngontrak), air baru ngalir sekitar jam 21.00/22.00 sampai jam 08.00 pagi. Analisa saya, air yang mengalir dari bak cucian piring itu (soalnya ni bak agak bocor, padahal udah ditambal dengan semen), bakalan ngalir kalau ke kanan ke ruang makan, yang di sana ada kulkas, meja, dll. Kalau ke kiri ke kamar saya! Kalau nganan dikit terus lurus masuk kamar para ponakan. Saya menjerit histeris dalam hati. Hihi. Oh, nooooo! Tapi kemudian saya mencoba menenangkan diri bersamaan dengan adzan berkumandang. Saya perbanyak istighfar dan menyempatkan tilawah beberapa ayat untuk menghilangkan rasa kalut. Saya perkaya hati saya dengan berkali-kali mengucapkan, “Laa yukalifullahu nafsan illa wus’aha...” (Allah tidak akan menguji seseorang di luar kesanggupannya!)

Sebelum iqomat, saya sempat SMS Mas Sis mengabarkan “huru-hara pagi” kabar dari tetangga saya itu. Biasanya beliau ada kajian dulu sampai jam 6. Tapi saya minta abiz sholat Subuh langsung menjemput saya dan kita pulang. Sehabis sholat Subuh saya terus merapalkan doa. Semoga yang ada di bayangan saya tadi tidak terjadi.

Mas Sis njemput saya jam 5 lebih. Saya lihat bagian bawah celana panjangnya agak ditekuk dan udah berganti sandal jepit. Saya langsung tanya, “Mas Sis udah pulang, ya? Gimana, basah semua?” Mas Sis mengiyakan. Huaaa... kamarkuuuuu... yang di bayangan saya, kamar kami juga basah kuyup. Biasanya kalau pas di boncengan Mas Sis, kita gayeng-gayengan. Tapi kondisi saat itu tidak memungkinkan. Nggak mungkin saya main tebak-tebakan juga. Bisa garing nantinya.

Saya sibuk dengan pikiran kalut saya sambil terus berdoa. Saya sudah mau bilang, “Mas Sis, maafin adik ya. Mas Sis boleh marah kok sama adik. Tapi adik benar-benar minta maaf. Entah apa yang terjadi nanti, kita anggap semuanya bagian dari ujian Allah, ya?!” Hihi. Tapi saya tahu Mas Sis nggak bakal marah sama saya palingan cuma ngambek. Hahaha *ketokkepalapakecottonbud. Nggak ding. Mas Sis tuh baik hati kok. Palingan nanti saya digelitikin sampai kapok.
 “Kalau di hati Fatimah ada Ali. Di hati adik ada Mas Sis, lhoooh...”*ngegombalgayakorbanbanjir. Hahaha.
Singkat cerita, sampailah kami di istana 77. Beberapa kardus buku yang basah udah teronggok dengan sangat memelas di luar rumah. Sempat ada tukang rongsokan lewat dan meminta izin untuk mengambil kardus-kardus yang pantatnya basah semua itu. Saya dan Mas Sis kompakan bilang, “Iya, Bu. Silahkan diambil!”

Semua karpet di ruang perpus dan keset-keset sudah dijemurin. Beneran banjir lokal! Lantai depan buasah kuyup semuaaa. Iya, sumbernya dari air kran cucian piring. Saya bergegas ke kamar. Hiks... hiks... saya hampir nangis melihat apa yang terekam di indera penglihatan saya. Kamar saya kering! Nggak ada setetes air pun yang mengalir masuk. Kamar ponakan juga, meski bagian pinggir agak basah tapi Alhamdulillah nggak parah. ALLAHU AKBAR! Padahal saya sempat menyakini, kamar saya kebanjiran dan parah tergenang air. Tapi aliran air memilih ke kanan, tapi juga ke kiri tanpa memasuki kamar saya langsung menuju ruang bagian depan. Yang basah kardus-kardus berisi piring dan gelas yang saya letakkan di bawah meja makan dekat kulkas, lanjut melewati ruang depan (daerah perpustakaan). Di situ hanya beberapa buku yang basah. Yang berkardus-kardus itu masih bisa diselamatkan, termasuk buku BEAUTY JANNATY saya.

Hmm... Saya masih terheran-heran, aliran air itu bisa sampai ngalir and luber ke luar rumah melewati daerah perpustakaan, yang bersebelahan dengan kamar, tapi kenapa bisa nggak masuk kamar, ya? Padahal nggak ada keset tebal di depan pintu kamar. Sampai sekarang pun saya masih mikir gaya atau model arah aliran air penyebab banjir lokal itu. Saya masih takjub dengan apa yang saya alami. Mungkin Allah SWT mengirimkan “bala tentara-Nya” untuk membelokkan arah aliran air itu hingga kamar tercinta saya yang penuh dengan gambar dan koleksi DORAEMON itu tidak terkena air setetes pun. ALLAHU AKBAR! Semuanya atas kuasa Allah...

Terjadilah aksi kerja bakti yang sangat seru. Hihi. Gubrak! Para tetangga yang jadi saksi mata pun turut menyemangati. Hehe.

Okelah, sekian catatan dokumentasi “DIARY RAMADHAN” saya. Ramadhan sebentar lagi melambaikan tangan perpisahan. Jujur, saya sangat sedih dan nggak mau berpisah dengannya. Masih ada beberapa waktu yang tersisa, mari kita manfaatkan lebih maksimal agar jika nanti Ramadhan berlalu, semuanya tak jadi sesal.

[Keisya Avicenna, 24-25 Ramadhan 1435 H]

0 komentar: