OYAKO NO HANASHI (Based on True Stories “Mom vs Kids @Japan” by Aan Wulandari)

19 Agustus 2014

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Setiap dua pekan sekali saya punya kegiatan rutin yakni berkunjung, membaca, sekaligus meminjam buku di perpustakaan daerah (jalan Sriwijaya). Duluuu… waktu saya masih berstatus mahasiswi di UNS dan sering main ke Semarang gegara sahabat-sahabat dekat saya waktu SMA banyak yang diterima di UNDIP, saya juga sering diajak sahabat saya itu wisata baca di perpusda. Kalau udah nongkrong di perpustakaan, kami sangat betah. Nah, pekan kemarin saya ‘menemukan’ harta karun yang tak biasa. Asyik milih dari rak ke rak, akhirnya tangan saya menjatuhkan pilihan pada sebuah buku yang penulisnya sudah saya kenal.

Sebuah buku yang menuturkan kisah yang kadang membuat saya tertawa, merenung, mengambil pelajaran, memetik hikmah, sambil menguatkan sebuah keinginan suatu saat nanti kaki saya akan menciptakan jejak istimewa di sana! Ya, di sebuah negara impian yang menjadi setting beberapa kisah yang terdokumentasi dalam buku itu. Makanya, saya termasuk Doraemonholic dan mupeng sangat sama hal-hal yang berhubungan dengan Jepang! Bisa dibilang saya kolektor Doraemon sejak kuliah. Banyak pernak-pernik Doraemon yang menghiasi kamar saya. Saat wisuda pun, di kala beberapa sahabat menanyakan pengin dikasih bunga apa? Dengan santainya saya jawab, saya tidak suka bunga lebih baik boneka Doraemon. Hihi. Alhasil, saat teman-teman wisudawati seangkatan saya pada pegang bunga, saya yang pegang boneka Doraemon sendiri. Xixixi. Waktu itu, boneka Doraemon kesayangan saya, saya kasih nama KAIZENEMON. Panggilannya Zen. Saya sangat suka dengan salah satu prinsip hidup orang Jepang : KAIZEN. Perbaikan diri secara terus-menerus.

Koleksi Doraemon saya saat di kampus dulu...
Koleksi Doraemon saya saat kuliah dulu...
Nah, seorang sahabat saya, Diah Cmut, pernah mengirimkan sebuah SMS… “Yakin Nung mau nikah? Calon suamimu tahu kan kamu masih terobsesi sama Doraemon, choki-choki, n permen sunduk? Semoga dia tabah menghadapimu.” Hahahaha. SMS tergila yang saya dapatkan saat hari H pernikahan saya. Sebelumnya calon suami saya sempat menanyakan ukuran lingkar jari saya (untuk cincin mas kawin) sekaligus beliau menyampaikan ingin memberikan hadiah saya gelang. Ntah apa yang terlintas dalam pikiran saya, saya balas SMSnya, “Afwan, saya tidak suka pakai gelang. Lebih baik hadiahnya boneka Doraemon yang guede saja!” Hahaha. Selesai prosesi ijab qabul dan walimah sederhana di rumah saya, suami saya beneran ngasih hadiah gelang. Tapi, beliau sukses membuat surprise untuk saya, tatkala kami berdua sampai di kostan kecil kami di Bogor, ada sebuah boneka besar Doraemon yang beliau hadiahkan untuk saya. Aaaah, so sweet! Langsung tak kasih nama SISEMON. Panggilannya SISEM. Wkwkwk. Sampai sekarang pun jangan heran jika rumah kami atau bahkan kamar cinta kami penuh dengan pernak-pernik atau gambar Doraemon.

Ya, itulah! Doraemon dan Jepang, menjadi  bagian yang tak terpisahkan seperti halnya Doraemon yang tergila-gila dengan Michan atau lahapnya dia saat makan kue Dorayaki. Saya cinta Doraemon dan sangat terobsesi pengin mbolang ke Jepang. Semoga Allah SWT perkenankan suatu saat nanti impian ini menjadi kenyataan. Aamiin.

Oyako No Hanasi
Oyako No Hanasi

Kembali ke bahasan awal. Hmm, buku yang ingin saya ceritakan itu berjudul OYAKO NO HANASHI. Sebuah buku catatan keseharian ibu dengan putra-putrinya saat di Jepang. Mbak Aan Wulandari, penulis buku ini, menyampaikan bahwa hidup di negeri orang selalu penuh kenangan. Jujur, beberapa bagian benar-benar membuat saya ngikik guling-guling. Apalagi kejadian awal-awal di Jepang yang lucu, terkadang norak, dan tentu saja sedikit memalukan (Mbak Aan ngakuin sendiri, lho!). Wakakak. Tokoh utama dalam buku ini ada 4, yakni Mama (Mbak Aan), Abah, Syafiq, dan Shofie. Kisah keluarga ini dimulai tatkala Abah (suami Mbak Aan) beasiswa untuk studi S3-nya diterima. Surprise yang sungguh luar biasa! Kejadian konyol sudah dimulai tatkala penerima beasiswa harus mengikuti pelatihan Bahasa Jepang di Bandung. Mama sekeluarga (Shofie belum lahir) nekat berangkat ke Bandung tanpa tahu nanti bisa langsung dapat kontrakan atau nggak. Tapi, Allah SWT memudahkan. Mama sekeluarga berhasil mendapatkan kontrakan yang bagus.

Tiga bulan berlalu, tibalah saatnya Abah meninggalkan Indonesia menuju negeri Doraemon. Mama dan Syafiq mengantar Abah sampai bandara. Beberapa hari setelah moment perpisahan itu…
“Abaaah…!” teriak Syafiq, setiap kali ada pesawat lewat. Pesawat bagaikan Abah bagi Syafiq. Hihi. Lucu nian kau, Nak!

Rencana awal, keluarga penerima beasiswa baru boleh “diboyong” ke Jepang setelah 6 bulan, tapi takdir berkata lain. Baru ditinggal dua minggu, Mama dan Syafiq akhirnya boleh menyusul ke Jepang karena ada istri temannya Abah yang lagi hamil dan ingin bisa melahirkan di Jepang. Karena kalau menunggu anaknya lahir, nanti semakin lama lagi ditambah repot bawa-bawa bayi. Akhirnya, Mama dan Syafiq pun naik burung besi menuju Negeri Sakura. Ups, Mama ngaku kalau itu kali pertama Mama naik pesawat. Hihi. Tentu saja tertulis beberapa kejadian ‘norak’ yang Mama alami (hahaha. Ngikik guling-guling deh gue!)
“Tit… tit… tit!” alarm berbunyi ketika Mama dan Syafiq melewati semacam penjagaan.
“Wuaaa…,” parno Mama kumat lagi. “Jangan-jangan ada yang memasukkan heroin ke dalam tas Mama?”
Tapi, untung kekhawatiran itu terobati. Lalu, apa penyebab bunyi itu? (hihi. Penasaran? Tanya Mama aja, ya!)

Kejadian konyol berikutnya saat awal-awal menjalani kehidupan di Jepang. Prinsip “Max Irits” benar-benar sangat diterapkan. Ada kejadian lucu dengan boncengan sepeda, ada juga tentang ‘koyok ajaib, koyok penambal ban’, itung-itungan ongkos bus dan bersepeda ria, edisi ngirit dengan berburu “sale”, dll. Iyups, kata sahabat saya yang udah pernah numpang hidup di sono, hidup di Jepang tuh kudu super irit.

Episode kedua dari buku ini berkisah tentang celoteh Syafiq. Paling ngakak saat ada percakapan :
“Mama…! Byouin e itte…!” (Mama, pergi ke rumah sakit sana!)
“Hee? Ngapain?”
“Tazkia o umarette…!” (Tazkia dikeluarin!)
Alamaaak! Hamil juga belum, disuruh ke rumah sakit buat mbrojolin bayi.

Ya, Tazkia itu adik bayangan versi Syafiq. Selalu saja Syafiq menghubungkan banyak kejadian dengan Tazkia. Saat mau beli jaket, saat Mama ngasih tahu foto sepupu Syafiq, dan masih banyak lagi. Konyol juga ni bocah!

Setelah dua setengah tahun penantian di Jepang, akhirnya Mama positif hamil. Dan akhirnya, bye-bye Tazkia, Abah sekeluarga memutuskan adik Syafiq ya Shofie namanya, itupun atas usulan Mama. Syafiq pun setuju. Hihi.

Di saat usia kehamilan enam bulan, Mama sekeluarga harus berucap “Sayonara Nihon!” Mama sekeluarga harus kembali ke Indonesia. Selanjutnya, banyak kejadian lucu abis gegara Syafiq mengalami problem bahasa dalam percakapan keseharian. Saya kutipkan kisahnya dan mari ngakak bersama.

Kejadian ini terjadi ketika kami baru dua hari di Indonesia. Syafiq masih malu-malu sama semua orang. Walaupun malu, kalau masalah makanan, dia paling penasaran. Selalu ingin mencoba. (Keturunan dari siapa lagi, kalau bukan dari emaknya!) Seperti kali ini, ada pothil (makanan khas Muntilan) di atas meja.
“Mama, kore tabetai,” katanya.
“Ya. Ambil aja.”
Nggak tanggung-tanggung, bukan sebiji-dua biji dia ambilnya. Tapi segenggam, bo!
Oishii (enak).”
Mama menyengir.
“Nomitai, Ma!” kata Syafiq beberapa saat kemudia. Dia minta minum. Iyalah, makan gorengan keras gitu perlu digelontor air putih.
“Ambil saja. Di belakang sana.”
Tiba-tiba, “Opo to kui ‘tai…tai’ wae, njelehi (apa sih itu, tai… tai saja. Bikin geli)!” adik Mama nyeletuk.
Hah? Mama kaget dan terbelalak. Tapi kemudian ngakak habis.
“Hahaha… Lagian yang didengar yang belakang saja, sih” kata Mama. “Tai itu seperti akhiran, artinya ingin. Tabetai ingin makan. Nomitai, ingin minum.”
“Walah… !” adik Mama ternganga. “Ingin… tai? Hih!”
“Siap-siap saja mendengar tai lagi, karena setiap kali ingin sesuatu, pasti dia nanti bilang tai…,” Mama ngakak lagi.
Njelehiii (menjijikkan),” kata adik Mama.
Nani (apa)?” Syafiq bingung.
“Sini, Mama kasih tahu. Tai… ne, imi wa unchi…!” kata Mama menerangkan arti ‘tai’.
“Hiiihhh!” Syafiq bergidik jijik.

Dan beragam kekonyolan lainnya, termasuk kejadian yang “absurd” (paling lucu saat Syafiq kemah sehari), terus ada kejadian “nyleneh” saat Syafiq belum juga bisa tidur sedangkan Shofi setelah dinina-bobokan pakai nyanyian Mama langsung bisa pules. Waktu itu, Mama meminta bantuan Abah agar memberi “soal pengantar tidur” buat Syafiq. Awal-awal berjalan normal. Lama-lama, mulai kelihatan seperti orang nggak sadar. “20-17 berapa?” kata Abah dengan kalimat nggak jelas, seperti orang mengigau.
“20-17?” Syafiq bertanya menegaskan.
“Betul! Pintar! Terus 5x4 berapa?”
Waduh…
“Abah, bangun!” Mama menyenggol Abah.
“Eh, ya?”
Beberapa menit pun normal kembali. Abah memberi soal, Syafiq menjawab. Dan, tetap nyambung.
Tiba-tiba…
“Berapa besar massa proton?”
Hah?
“Hahaha, Abah ki ra nggenah (Abah nggak benar),” kata Syafiq ngakak.
“Huss, nggak boleh bilang gitu! Nggak sopan!” Mama mendelik, walaupun dalam hati juga ngikik-ngikik. Ups!

Episode ketiga dalam buku ini berkisah tentang Celoteh Shofie. Banyak kejadian seru juga antara Mama dan Shofie. Penasaran? Pinjem aja bukunya! Atau suruh Mama Aan cerita… Hihi. Perut saya sudah sakit akibat banyak kekonyolan dalam buku ini.

Pada akhirnya saya sangat bersyukur, Allah SWT mempertemukan saya dengan Mbak Aan dalam komunitas IIDN Semarang. Pemilik nama lengkap Aan Wulandari Usman ini nama akun facebooknya Aan Diha. Setelah saya todong, akhirnya ngaku kalau Diha itu singkatan nama suaminya, uDI Harmoko. Semoga senantiasa menjadi pasangan yang humoris dan harmonis, plus romantis bersama Syafiq, Shofie, dan adik-adik Syafiq-Shofie selanjutnya… (Hihi. Aamiin…)

[Keisya Avicenna, 19 Agustus 2014]

1 komentar:

KEISYA AVICENNA mengatakan...

besok nemu buku apa lagi ya?