oleh: Hatta
Syamsuddin, Lc[2]
Mukaddimah
: Antara Lisan dan Tulisan
Islam
sebagai syariat yang komprehensif tidak pernah memisahkan antara ‘produk’ lisan
dan tulisan. Ketika kita terbiasa dengan
bahasan ‘menjaga lisan’ dalam kajian hadits maupun akhlak, maka pada saat yang
sama kita juga dituntut untuk ‘menjaga tulisan’ kita. Adapun mengapa banyak
riwayat yang ada masih berkutat tentang penjagaan lisan saja, itu semata karena
tulis menulis belum menjadi ketrampilan umum setiap orang dan belum menjadi
budaya yang mengakar pada waktu itu. Hal lain yang menyebabkan komunikasi lisan
begitu mendominasi pada saat itu adalah : minimnya sarana untuk tulis menulis,
serta masih banyaknya kaum yang buta huruf.
Namun
dunia kini berubah, sarana komunikasi bukan lagi lisan semata tapi juga
tulisan, gambar, video dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan zaman
maka komunikasi dengan tulisan pun mulai menunjukkan taringnya. Jika dahulu
hanya sebatas artikel di Koran dan majalah, maka saat ini kita dapati tulisan
menjadi media komunikasin andalan, baik bersifat umum seperti situs,blog, maupun yang bersifat khusus seperti sms,
chat, BBM, dan yang semacamnya. Maka hari ini kita menjadi saksi, setiap detik
berapa kalimat yang telah tertuliskan baik melalui papan ketik laptop, maupun
keyboard Qwerty dalam perangkat genggam.
Pada
kondisi saat ini, jika ada yang bertanya bagaimana seharusnya adab dan etika
kita dalam menulis, maka menganalogikannya dengan adab-adab lisan adalah hal
yang sudah semestinya. Hal-hal yang jika
kita ucapkan adalah salah, maka dengan qiyas aula jika dituliskan tentu
akan lebih salah lagi. Mengapa qiyas aula dan mengapa lebih salah ? Mudah saja menjawabnya, jika kesalahan lisan
maka hanya mereka yang mendengar saja yang terganggu atau terpengaruhi. Namun
jika kesalahan itu dituliskan dan tersebar, maka sangat mungkin mempengaruhi
banyak orang yang lainnya. Pada sisi ini, sungguh kita tidak mengharapkan
royalty sama sekali bukan ?
Maka
mari kita renungi sejenak bahwa perintah syariat dalam
penjagaan atas lisan –dan pada saat yang sama tulisan- bukan sesuatu yang main-main. Jangankan satu
buku, satu lembar, satu halaman atau rangkaian beberapa kalimat, bahkan satu
kata pun akan diminta dipertanggung jawabkan. Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ
اللهِ ، لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا ، فَيَهْوِي بِهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ سَبْعِينَ
خَرِيفًا.
“Sesungguhnya
seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang dia
tidak merenungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka Jahannam.” (HR
Bukhori)
Hadits
di atas begitu meyakinkan kita untuk menjaga setiap kata yang terucap, dan juga
setiap kalimat yang tertuang dalam karya-karya kita. Karenanya, upaya
memunculkan kembali ‘fiqh penulisan’ bukan
lagi sebuah pengingatan kepada kita, tetapi pada hakikatnya adalah
‘penyelamatan’ bagi kita semua sebagai komunitas yang setiap saat siap
merangkai kata dan berkarya.
Apa
& Bagaimana Semangat Fiqh Kepenulisan ?
Sungguh
teramat jarang literatur klasik yang menulis secara khusus tentang adab menulis
atau bahasa tegasnya “ fiqh kepenulisan”. Yang tercatat cukup awal adalah kitab
“ adabul katib” yang ditulis oleh Abu Muhammad
Abdullah bin Muslim Ibnu Qutaibah ad-dainuri (213-276 H). Sayangnya,
kitab tersebut pun tidak membahas etika penulisan, namun lebih banyak
mengungkap kaidah-kaidah bahasa dalam penulisan yang baik. Pada saat ini pun, ketika disebut tentang
‘adab menulis’ dihadapan mesin pencari Google misalnya, maka yang segera muncul
biasanya adalah metode-metode dan tips kepenulisan, baik menulis ilmiah,
cerpen, dan yang semacamnya. Ada satu dua yang menuliskan tentang adab penulis
kaitannya dengan fiqh atau aturan syariat, namun biasanya hanya berupa
point-point sederhana yang laa yuth’imu walaa yughni min juu’.
Karenanya,
untuk menggambarkan sebuah fiqh penulisan saya memilih untuk mengikuti kaidah
umum dalam dakwah, - mengingat motivasi dan semangat menulis kita adalah karena
dakwah – yaitu Firman Allah SWT :
ادْعُ إِلَى
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik “ (QS
An-Nahl : 125)
Dari
ayat di atas, setidaknya dalam sebuah aktifitas dakwah kepenulisan kita
membutuhkan dua hal yang harus saling menunjang, yaitu kejelasan konten (
al-hikmah) dan ketepatan sarana dan metodenya (al-mauidhoh hasanah). Dari sisi
inilah kita akan mengembangkan fiqh kepenulisan, yaitu menjaga kualitas syar’I
sebuah tulisan sisi konten dan penyampaian atau penggunaan bahasanya.
Adapun sisi kejelasan konten perlu kita lihat
dari beberapa sisi :
a) Apakah yang kita tulis sudah selaras
dengan ajaran syariat Islam yang wasatiyah, tawazun dan komprehensif
? sehingga tidak membuat masalah resah dan memecah belat umat.
b) Apakah yang kita tulis cukup mempunyai
dalil argumentasi yang syar’I atau tidak ? Atau setidaknya mempunyai periwayatan yang
baik ? Sebaimana kita sudah diperingatkan oleh Rasulullah saw, beliau menjelaskannya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah ra beliau bersabda :
إنّ الرّجل
ليتكلّم بلكلمة مايتبيّن فيها يزلّ بها في الناّرأبعدمابين المشرق والمغرب
Seseorang berbicara dengan suatu
kalimat tanpa disertai kejelasan (bukti) oleh karena ucapannya itu, maka ia akan
dijatuhkan ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh dari jarak timur dan barat.
" (HR Muslim)
Adapun
dari sisi menjaga kualitas sarana atau penyampaian, maka sebuah tulisan
hendaknya menjaga beberapa kriteria syar’I sebagai berikut :
a) Menggunakan bahasa yang Indah dan
membekas. Firman Allah SWT : “dan katakanlah kepada mereka perkataan yang
berbekas pada jiwa mereka.” (QS An-Nisa :63)
b) Menggunakan bahasa yang mudah dan praktis , Firman Allah SWT : “maka
katakanlah kepada mereka ucapan yang mudah .” (QS Al-Isra 28)
c) Menggunakan bahasa yang Lembut. Firman
Allah SWT : “maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang
lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".(QS Thoha 44)
d) Menggunakan bahasa dengan tepat waktu
dan sasaran. Imam Ali mengatakan : “ bicaralah kepada
orang-orang dengan apa yang mereka pahami, apakah engkau ingin mereka
mendustakan Allah dan rasul-Nya ? (HR Bukhori)
Disamping
karena dua hal di atas, tingkat kualitas syar’I sebuah tulisan juga dilihat
dari cara pandang penulisnya. Ini masalah niat, visi dan misi dalam menggores
pena.
Visi & Misi Menulis
Mari
sedikit bicara tentang hati dan niat, sesuatu yang membuat karya kita akan
menjadi besar dalam timbangan akhirat kita. Namun juga bisa berarti sebaliknya,
yaitu kerja-kerja berat kita misalnya menulis siang dan malam tanpa henti, akan
menjadi tanpa makna dengan niatan yang salah dan menyimpang. Kita semua
sepakat, bahwa niat berawal dari kebersihan hati dan cara pandang yang benar.
Niatan menulis sebagai sarana untuk mendekatkan derajat kita kepada Allah
dengan mendapatkan ridhonya tentulah bukan hal yang bisa ditawar-tawar
lagi. Mari merenungi ungkapan Rasulullah
SAW : “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat dari apa yang
diridhai Allah yang dia tidak menganggapnya (bernilai) ternyata Allah
mengangkat derajatnya karenanya.” (HR. Al-Bukhari)
Setelah
manata niatan mendapatkan ridho Allah SWT, semestinya kita bisa menyusun visi
kepenulisan yang memotivasi sekaligus sesuai dengan aturan syariah. Diantara
visi kita dalam menulis, setidaknya terwakili dalam tiga hal berikut :
1.
Nasyrul
Fikrah wa Dakwah,
yaitu menyebarkan fikroh Islam dan berdakwah kepada masyarakat secara umum.
2.
Tanmiyatul
Kafaah wa tarbiyah dzatiyah
: yaitu sebagai sarana mengasah dan mengembangkan potensi diri, selain itu
dengan menulis juga menjadi kontrol bagi seseorang dalam sikap dan perilaku.
3.
Kasbul
Maisyah wa Syabakah :
yaitu mendapatkan penghasilan dan jaringan, keduanya sungguh saling berhubungan
satu sama lain.
Setelah
visi kepenulisan kita telah terasah dengan baik, saatnya mengkaji misi kita
dalam penulis. Apa yang kita tulis dengan semangat dakwah, semestinya tidak
lepas dari beberapa fungsi berikut ini.
1.
Fungsi Bayan / Penjelas ( Hukum atau suatu masalah dalam Islam)
Ini
memang tergolong serius dan berat. Yaitu menulis seputar tema-tema kajian Islam
dan pernik-perniknya. Tulisan jenis ini tentu saja melibatkan dalil, pendapat
ulama, dan juga argumen yang perlu hati-hati dan teliti dalam menuliskannya.
Tentu tidak semua penulis muslim harus menuliskan tema berat semacam ini. Semua
mengambil bagian sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
2.
Fungsi Tausiyah dan Motivasi beramal
Sudah
menjadi karakter orang yang sukses dalam surat Al-Ashr adalah membudayakan
saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Ini berarti saling memotivasi
untuk beramal shalih sekaligus menghilangkan kesedihan. Begitu pula dalam berkarya,
bisa berfungsi khusus sebagai sarana
tausiyah, bertukar dan berbagi nasehat-nasehat kebaikan. Tidak harus bingung
mencari dalil, karena setiap kebaikan mempunyai dalil fitrahnya dalam hati
masing-masing dari kita. Meskipun tentu saja, bukan berarti dalil tidak penting
dalam fungsi ini.
3.
Fungsi Pelurus Anggapan salah / wacana yang salah di masyarakat
Yaitu
meluruskan hal-hal yang telah mewacana dan mendarah daging dalam masyarakat.
Dari mulai mitos, hingga budaya yang tidak selaras dengan ajaran kemuliaan
Islam. Ini adalah kategori tulisan yang benar-benar 'membumi'. Tidak bicara
terlalu berlebihan tentang gagasan-gagasan idealis, yang bisa saja dilihat
sebagai mimpi oleh sebagian lain yang membaca tulisan kita.
4.
Fungsi Pengarah Alternatif Islami ( Ta'shiil)
Yaitu
memberikan alternatif Islami dalam banyak hal kehidupan masyarakat. Kita tidak
sekedar menyalahkan atau meluruskan, tetapi juga memberikan solusi Islami yang
benar dan teruji. Misalnya ketika membahas gaya hidup (life style), kita bisa
menghadirkan bagaimana Islam mempunyai banyak variasi dalam 'menikmati' hidup,
bukan sekedar agama 'akhirat' saja tetapi juga agama kebahagiaan dunia.
Bagaimana kita memberikan 'rambu-rambu' penjaga dalam banyak aktifitas modern
agar tidak bertentangan dengan Islam.
5.
Fungsi Informasi, Inspirasi & Ibroh
Yaitu
memberikan informasi baik berita, peristiwa, kisah dan pengalaman hidup untuk
memotivasi dan menginspirasi pembaca blog kita. Kita harus meyakini, bahwa
setiap kejadian pastilah menyimpan beragam hikmah, dan setiap hikmah harus kita
ambil sebagai charger optimisme dalam menyambut masa depan.
Mungkin
sebagian kita mengernyitkan dahi dan mulai bertanya-tanya ; bagaimana dengan
penulisan Fiksi ? apakah mampu mengusung misi dan fungsi dakwah di atas ?
Sebelum bicara lebih lanjut tentang penulisan fiksi dan dakwah, lebih baik kita
sedikit mengulang bahasan tentang pandangan syar’I dalam masalah penulisan
fiksi.
Hukum
Menulis Cerita Fiksi
Cerita
fiksi adalah cerita rekaan dan khayalan yang bisa diambil dari kejadian,
pengalaman sehari-hari, maupun berdasarkan tokoh dan peristiwa sejarah yang
ada.Para Ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum penulisan cerita Fiksi.
Dalam khasanah fikih tentu saja ini menjadi aroma yang biasa, namun dalam
prakteknya tentu saja kita harus memilih salah satu.
Yang
memfatwakan pengharaman penulisan cerita fiksi, diantaranya adalah Syeikh
Sholih bin Fauzan, Lannah Daimah Saudi yang dipimpin oleh Syeikh Abdullah bin
Baz.
1.
Cerita
fiksi adalah bentuk kedustaan (bohong), sementara Rasulullah bersabda : “Celaka bagi
orang-orang yang berbicara(mengabarkan) sedangkan dia dusta (dalam
pembicaraannya) supaya suatu kaum tertawa maka celakalah bagi dia, celakalah
bagi dia.”(HR Hakim & Tirmidzi).
2.
Cerita
fiksi tidak dapat dijadikan wasilah dakwah karena sifatnya yang tidak ada
contohnya pada masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa salam.
3.
Cerita
fiksi hanya membuang-buang waktu dan melalaikan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta
kisah-kisah nyata lainnya, sementara kaum muslimin diminta untuk menjaga
waktunya.
Sebagian ulama lain berfatwa tentang
kebolehan penulisan kisah fiksi, tentunya dengan syarat dan ketentuan
tertentu. Mereka yang membolehkan
diantaranya Syeikh Ibnu Jibrin, Ibnu
Utsaimin, Sholih Showy dan Syeikh Muhammad Mazrul. Beberapa hujjah yang diajukan mereka yang
membolehkan antara lain :
1.
Bahwa
dalam cerita tersebut tidak ada yang disebut kedustaan, karena pembaca pun
mengetahui jika hal tersebut tidak terjadi. Maka lebih tepat disebut dengan
pengandaian atau perumpamaan, yang bahkan juga menjadi metode al-Quran dalam
menjelaskan sesuatu. Diantaranya Allah SWT berfirman :
وَضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ
وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ
يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan Allah membuat (pula)
perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu
pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh
penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah
orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di
atas jalan yang lurus? (QS An-Nahl : 76)
2.
Sebuah riwayat dari Rasulullah SAW, beliau bersabda : “Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari
Bani Israil dan itu tidaklah mengapa” (HR Ahmad, Abu Daud dll). Dalam Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan, “Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita
Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik”. Tambahan Ibnu Abi Syaibah
ini dinilai sahih oleh Al Albani. Mereka mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan
bolehnya mendengarkan cerita-cerita Bani Israil yang menarik sekedar untuk
hiburan, bukan untuk berdalil. Dengan kata lain, hanya untuk menghilangkan
kegundahan hati, bukan untuk berdalil dan beramal dengan isi kandungannya.
Hadits di atas dijadikan dalil oleh
sebagian ulama untuk menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita yang unik
dan menarik dengan tujuan hiburan dengan syarat cerita tersebut tidak diketahui
secara pasti kebohongannya. Sedangkan jika cerita tersebut sudah diketahui
secara pasti kebohongannya maka boleh diceritakan dengan syarat maksud dari
membawakan cerita tersebut untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan
menanamkan sifat berani baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan
asalkan semua orang yang membacanya pasti faham bahwa cerita tersebut hanya
sekedar imajinasi atau karangan semata. Inilah pendapat Ibnu Hajar al Haitaimi,
seorang ulama bermazhab syafii
3.
Para
ulama (terdahulu) membolehkan kisah-kisah fiktif yang ada dalam buku Maqamat
karya Badiuz Zaman al Hamdzani dan al Maqamat karya al Hariri dan buku-buku
sejenis, dan tidak ada dari mereka menentang dan mengkritisi karya tersebut.
Realita
Penulisan Fiksi dan Dakwah : Uji Nyali ?
Status mubah atau bolehnya penulisan
fiksi nampaknya bisa menjadi celah yang baik sekaligus jebakan yang berbahaya.
Terlampau berlebihan dalam hal mubah pun akan menjadikan sensitifitas waro’
seorang muslim berkurang. Karenanya, pembolehan tersebut harus ‘ditunggangi’
dengan misi dan kepentingan yang jelas, yang dalam hal ini adalah penyebaran dakwah dan motivasi kebaikan.
Jadi misi ini harus melekat kuat
bagi mereka yang menekuni fiksi Islami, yaitu tidak lah membuat sebuah kisah
atau perumpaan, kecuali mentargetkan ibroh dan pelajaran yang jelas di
dalamnya. Inilah rahasia pengungkapan kisah-kisah dalam Al-Quran, sebagaimana
disebutkan dalam surat Yusuf, Allah
ta’ala berfirman :
لَقَدْ كَانَ
فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ مَاكَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى
وَلَكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى
وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ( QS Yusuf : 111.)
Dari
misi inilah setiap penulis Fiksi harus menguji nyalinya, karena bisa jadi ia
menuliskan hal yang ‘terlampau’ fiktif dan imajinatif, mendalami hal-hal yang
justru tidak bisa dijadikan perumpamaan yang mudah untuh diterima, atau
menuliskan hal-hal tanpa target pembelajaran dan dakwah yang jelas, atau
menuliskan hal-hal yang justru mengundang kontroversi dan kebingungan, maka
pada saat itu niatan awal menulis Fiksi sebagai sebuah alternatif dakwah layak
untuk kembali dipertanyakan. Wallahu a’lam bisshowab.
2 komentar:
Subhanallah, literasi yang memikat, mbak..jadi semakin lebih jelas, bahwa menulis itu harus membawa visi dan misi yang baik dan bertumpu pada nilai dakwah :D
"Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak menuliskannya sebagaimana Alloh telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan.." [QS 2:282]
Kalo ayat di atas menyangkut persoalan saksi hutang piutang dengan menuliskannya, mengapa kita masih ragu untuk menulis sebuah karya yang mengandung kebaikan dan nilai spirit dakwah di dalamnya? :)
sipp... :D
Posting Komentar