Aksara Kembara [1]: “HIDUP ADALAH SEBUAH PERJALANAN PANJANG MENDEWASAKAN SUDUT PANDANG.”

23 Januari 2013





Alhamdulillah, akhirnya jejak kelanaku sampai juga di sebuah kota yang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah. Yups, SEMARANG! Mungkin impian-impianku di masa lalu, sekarang mampu ‘menyeretku’ hingga sampai di kota yang sejak kelas 5 SD dulu telah aku beri julukan “KOTA INSPIRASI”.

Ya, saat kelas 5 SD aku pernah mengukir jejak prestasi di kota ini. Kala itu, aku menjadi juara 1 lomba sinopsis untuk buku fiksi dan nonfiksi di tingkat kabupaten. Dan bersyukurnya, aku menjadi delegasi dari Kabupaten Wonogiri untuk mengikuti Lomba Sinopsis dan Menceritakan Kembali Buku Fiksi dan NonFiksi. Jadi di tingkat provinsi, pasa peserta harus menceritakan apa yang telah dituliskan.

Aku masih ingat sekali, untuk buku nonfiksi aku menulis sinopsis dan menceritakan tentang budidaya udang windu sedangkan untuk buku fiksi, judulnya Janjiku Untuk Negeriku (JUNI). Ah, sebuah pengalaman berharga bagi seorang bocah kelas 5 SD, meskipun tidak juara (pesertanya aja banyak yang sudah kelas 6), aku tetap bahagia. Bahkan pasca lomba itu, aku jadi punya banyak sahabat pena. Kita saling berkirim surat dan serunya persahabatan kita masih terjaga dan bertahan sampai sekarang.

Sejak saat itulah Semarang menjadi “KOTA INSPIRASIKU”. Pun ketika aku sudah menjadi mahasiswa, kalau akhir pekan ada waktu luang pasti aku sempatkan untuk mbolang ke Semarang. Kebetulan, banyak sahabat SMA yang kuliah di Semarang. Jadi sekarang, pasca kepindahanku dari kota hujan aku langsung ‘nyaman’ dan ‘kerasan’ aja tinggal di kota ini. Ya, perjuangan di kota baru akan aku mulai, bersamamu…

Yups, seperti judul yang aku tulis di atas… “Hidup adalah sebuah perjalanan panjang mendewasakan sudut pandang.” Kalau dalam menulis cerita fiksi, kita mengenal ada sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Nah, kalau aku analogikan dalam kehidupan, ada dua hal yang mesti kita resapi baik dalam bertutur kata, dalam tingkah laku keseharian, dan menyikapi berbagai hal karena kita hidup sebagai makhluk sosial.

1.     AKU sebagai AKU.
Ya, setiap kita pasti istimewa. Dalam tubuh kita ada rantai double helix yang bernama DNA. DNA yang menjadi ciri khas setiap orang. Bahkan yang kembar identik saja pasti juga punya banyak perbedaan. Apalagi dengan orang lain yang bukan saudara dan tidak lahir sekandung. Jadi, bersyukurlah untuk terus menjadi “aku” dan bukan “kau”.

Allah telah menciptakan kita dalam sebaik-baik penciptaan. Bukankah itu sudah cukup untuk kita syukuri dan renungkan? Syukuri, dengan cara mengoptimalkan segenap hadiah dan anugerah yang telah Allah berikan dalam hidup kita. Panca indera yang sehat dan lengkap ini titipan, sudahkah kita optimalkan? Organ dalam yang dibungkus daging dan kulit ini juga titipan, sudahkan benar-benar kita jaga kesahatannya? Oleh karena itu, renungkanlah! Betapa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kitanya saja yang kadang terlena dan tanpa sadar membuatnya jadi sia-sia. Maka, mulai detik ini bersyukurlah jadi ‘AKU’ dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

2.     AKU sebagai KAU.
Ini akan memunculkan rasa empati kepada sesama. Saat saudara kita sedih kita turut merasakan dukanya, kita bantu menghapus linangan air mata yang menciptakan jejak di kulit pipinya. Saat ia bahagia, kita turut merasakan suka dan belajar untuk bersama melukis tawa pada roman muka. Jadi, pandai-pandailah membawa diri. Betapa Rasulullah telah begitu banyak memberikan pelajaran lewat kisah beliau bersama para sahabat.
Ah, betapa indahnya hidup ini jika kita junjung tinggi rasa toleransi dan empati. Inilah saat sudut pandang ‘aku’ menjadi ‘kau’. Aku belajar merasakan apa yang kau rasakan…

Hm, inilah pelajaran di hari ke-6 saat aku mulai menuliskan catatan hidupku di kota Semarang. Apalagi yang membuatku tidak bersyukur, jika di kota ini aku telah Allah pertemukan dengan saudara/i baru yang begitu baik, rekan-rekan kerja yang tak kalah baik, keluarga yang istimewa, tempat kerja yang nyaman, rumah tinggal yang meski sederhana namun sarat akan cinta, suami yang penuh kasih sayang dan selalu membuatku bahagia.

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

Dan akupun sangat menikmati ‘profesi’ dan segudang ‘amanah’ku saat ini. Karena di mata Allah, seseorang tidak dinilai dari apa jenis pekerjaannya. Namun dari bagaimana dia melakukan pekerjaannya itu. Di mata Allah, seseorang juga tidak dinilai dari berapa hasil yang didapat dari pekerjaannya, namun dari seberapa besar dia mencintai pekerjaannya. Karena dengan CINTA-lah seseorang akan mampu bekerja keras. Karena dengan CINTA-lah seseorang akan merasa ikhlas dan bersyukur atas pekerjaannya. Karena itu rekan hebatku, apa pun pekerjaan kita, sekeras apapun kita harus melaluinya, mari kita belajar untuk mencintainya…

Dan inilah aku, yang belajar untuk tidak galau saat ada yang bertanya “Sudah isi belum?”. Hehe, bagiku ini pertanyaan wajar dari orang-orang sekitar untuk para pasangan yang baru saja menikah. Dan bagiku lagi, pertanyaan ini adalah bagian dari DO’A. Karena aku masih setia berpegang teguh pada prinsipku, “Allah Swt pasti akan menjawab dengan sangat indah pada saat yang TEPAT dan TERBAIK. Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak, saat Kun Fayakuun-Nya bekerja sepenuh energi CINTA!”
Ya inilah aku…

Dalam kasus ini, akupun belajar jadi ‘kau’. ‘kau’ yang telah bertahun-tahun membina hidup berumah tangga namun belum juga diberikan amanah oleh Allah berupa momongan. Ada kerja keras di sana, ada kesabaran mahahebat disana, ada peluh usaha dan tangis penuh do’a juga disana. Jadi, inilah bagian dari sebentuk ujian. Dan tugas manusia hanyalah berdo’a  serta berusaha disertai tawakkal. Hasil akhir itu wilayah kerja Allah…

***
Hmm, pertemuanku denganmu hingga hati dan jiwa kita bersatu pun itu atas “Kun Fayakuun-Nya”. Karena waktu itu aku hanya berbekal modal “YAKIN, YAKIN, YAKIN, YAKIN, YAKIN, YAKIN, dan YAKIN” hingga Dia memberikan kado terindah dan buah termanis dari semua ketegaran dan kesabaranku, yaitu kamu sang pangeran kunci syurgaku… ^_^

Karena “Hidup adalah sebuah perjalanan panjang mendewasakan sudut pandang.”

[Keisya Avicenna, 23 Januari 2013 @Istana IPK Semarang]

Rinai hujan di kota Bogor, dan kini Semarang akan menjadi kota yang penuh rinai inspirasi…




0 komentar: