Too Much Worries Will Kill The Fun Part Of Parenthood

17 November 2013

Sabtu kemarin, ada sebuah event seru yang diadakan di Sekolah Cikeas. Para orang tua dan anak-anaknya sejak pagi, sudah bersiap dengan sepeda-sepeda mereka . Siap berpetualang menyusuri track yang sudah dipersiapkan.

Sebagian 'track' tersebut akan menyusuri jalan-jalan tanah perkampungan. Yang kondisinya becek dan lengket akibat hujan semalam. Seruuu sekali mendengar cerita2 dr para peserta dan panitia yang ikut nge-gowes. Apalagi, kebanyakan anak-anak yang ikut itu, adalah anak-anak SD yang imut-imut. Beberapa bahkan mengendarai sepeda roda empatnya.

Namun bukan hal itu yang ingin kuceritakan, karena kebetulan aku tidak ikut serta. Hari itu tugasku, tetap tinggal di sekolah bersama beberapa teman-teman lain, melayani para tamu di stand PMB ( penerimaan murid baru ).

Walau bertugas di meja PMB SMP, namun pada akhirnya banyak sekali para tamu / calon ortu murid yang berkonsultasi untuk anak- anak mereka yang hendak.masuk PG/ TK / SD.

Pertanyaan yang berulang-ulang ditanyakan sebenarnya standar saja. Tentang konsep sekolah alam, tentang kurikulumnya, tentang mekanisme jalur penerimaan murid baru, dll.

Kesemua pertanyaan tersebut, terjawab dengan penguasaan 'product knowledge' para penunggu stand PMB.

Namun, dari beberapa orang tua yang kulayani, aku mencatat sebuah pola. Pola tentang kekhawatiran yang terlalu jauh.

Jujur aku khawatir pada para orang tua tersebut... Sangat khawatir. Mereka bisa kehilangan momen-momen menyenangkan dalam pengasuhan anak jika memperturutkan kekhawatiran tersebut.

Singkat cerita: Sehebat-hebatnya sebuah sekolah dengan beragam fasilitas, beragam program dan sejumlah besar SDM pendidik berkualitas. Tetap saja, yang namanya sekolah itu adalah lembaga pendidikan, bukan sebuah bengkel.

Lembaga pendidikan tempat seorang anak bisa mengembangkan potensi dirinya sesuai kondisi emosi, fisik, dan logika berfikirnya.

Bukan bengkel, dimana anak yang dianggap 'kurang /rusak' dititipkan. Lalu karena sudah membayar sejumlah besar uang, maka nantinya anak-anak itu harus dikembalikan dalam keadaan 'benar'.

"Disini itu kan ada program character building kan? Jadi nanti anak-anak sudah tahu mau kerja apa? Mereka tahu kalau, mereka tidak harus jadi karyawan kan? Mereka bisa jadi wiraswasta ?"

Lebih dari satu pasang orang tua yang menanyakan hal ini kepadaku... Dan anak-anak mereka baru akan masuk TK atau SD.

Aku berulang kali menghela nafas.

Jika aku memperturutkan ego sebagai 'marketer', aku sangat bisa memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan hati mereka.

Namun disaat yang sama, aku juga seorang pendidik. Yang melihat ada yang salah dalam pertanyaan tersebut.

Pertama-tama, jangan terlampau merisaukan hendak menjadi apakah anak kelak. Rizki anak itu sesuatu yang berada dalam kekuasaan Allah swt.


Serahkan keputusan itu di tangan anak dan di dalam doa-doa kita.

Biarkan mereka menjadi apa yang mereka inginkan. Berjuang dan menjalani profesi yang mereka cintai. Entah akhirnya menjadi wiraswasta atau profesi lain. Bahkan jika anaknya itu perempuan dan cita-citanya, adalah menjadi Ibu rumah tangga yang baik bagi anak-anaknya kelak .

Kemudian, yang namanya 'character building' itu adalah sebuah proses panjang nan berjenjang. Proses ini sangat erat terkait dengan keharmonisan komitmen sebuah lembaga pendidik, dengan apa-apa yang juga si terapkan di rumah.

Jika anak-anak itu masih kecil. Masih di bawah 7 tahun. Maka program 'character building'nya bukan untuk mempersiapkan mereka untuk tahu mau bekerja apa kelak. Bukan juga untuk mengisi otak kiri mereka dengan beragam pembelajaran kognitif ( calistung, dll).

Tugas jiwa-jiwa kecil itu...
Program 'character building' mereka adalah membangun kecerdasan emosional dan membangun kecerdasan logika berfikirnya dengan BERMAIN.

BERMAIN adalah cara mereka belajar. Cara sel-sel saraf otak mereka sambung menyambung. Cara mereka belajar 'team work', cara mereka mendewasakan hati mereka, dll.

Program 'character building'nya, dalam membangun kemandirian adalah dengan mengulang-ulang berbagai SOP . SOP makan sendiri, SOP merapikan mainannya sendiri, SOP ke kamar mandi sendiri, dll.

Sekali lagi;

'Character building' itu adalah sesuatu yang 'real', terukur, bertahap, berkembang dan berkelanjutan. 

Lalu, kala program itu terlaksana. Karena kita sudah menentukan tujuan dan memvisualisasikan hasilnya, InsyaAllah kita akan lebih rileks dan menikmati kebersamaan pengasuhan bersama anak.

Contoh di kelas-kelas playgroup dan TK. Biasanya para fasilitator kelas, memiliki target selama 3 bulan pertama untuk melatih kebiasaan dan kemandirian anak-anak dalam: 
1. Melepaskan sepatu dan meletakkan sepatu di rak seorang diri.
2. Meletakkan tas dan barang-barang lain di tempatnya seorang diri.
3. Makan dengan mandiri ( menyendok sendiri makanannya, kemudian merapikan box makanannya ke dalam tas, dan merapikan kotoran yang tertinggal di meja). 
4. Belajar berbaris, mengantri dan berjalan dalam barisan.
5. Dan banyak lagi program 'character building' lainnya.

"Tidak mudah itu! "

"Well, tidak ada yang bisa menjanjikan kalau 3 bulan pertama itu mudah! Namun, bukan berarti mustahil!

Modifikasi perilaku itu sesuatu yang memungkinkan ."

Dan indahnya, dalam proses itu, apabila kita siap berlelah -lelah. Maka tidak hanya karakter anak-anak yang akan berkembang. Namun juga karakter kita, para orang tuanya ( baik orang tua di sekolah maupun orang tua di rumah ).

***
Menjadi pendidik ( guru dan ortu ) itu dasarnya memang selalu diliputi kekhawatiran.

Dimana kekhawatiran dengan porsi yang tepat, akan menjadi motivasi kita untuk melakukan yang terbaik bagi anak-anak.

Namun yang berbahaya adalah kekhawatiran yang berlebihan. Dimana hal itu akan menjauhkan kita secara emosional dengan anak-anak, dan menghilangkan kesempatan kita untuk menikmati momen pengasuhan anak. Momen yang cepat sekali berlalu.


 [Yuni Khairun Nisa]

0 komentar: