Mama hanya tersenyum ketika pertanyaan itu kuajukan. Mungkin
konyol, di usia yang sudah lebih dari bilangan 20, aku sama sekali belum
mengerti apa artinya ini.
“Ma, kenapa lelaki harus mencium kening istri dan istri
mesti mencium tangan suaminya?”
Perempuan embun itu tersenyum. Lantas memberikan tangannya
untuk kucium. Ia tak lekas menjawab. Paham benar dengan keadaan diriku yang
kelelahan setelah perjalanan yang cukup jauh. Ia malah beranjak ke kulkas,
mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya ke dalam gelas besar. Minuman
itu diberikan kepadaku.
Setelah kuteguk dan tandas setengahnya, Mama masih saja
tersenyum. Ia lalu duduk.
“Apakah setelah hampir 24 tahun usiamu saat ini, kau belum
mengerti tentang hal itu?” tanya mama.
Aku menggeleng sambil cengengesan. Mama kembali tersenyum.
“Zam, mama beritahukan kau satu hal. Bahwa semangat dan
ketenangan lelaki itu terletak pada kening istrinya. Lalu sumber ketenangan dan
kekuatan perempuan itu ada di punggung tangan suaminya.”
Demi menyamarkan ketakmengertian, kuteguk lagi sisa air di
gelas yang masih setengahnya. Mama tampaknya tahu caraku menyembunyikan
kebodohan. Maksudku, kelambatanku mencerna sesuatu.
“Zam, mengecup kening istri atau mencium tangan suami,
hakikatnya sebuah simbol dari satu hal paling mahal dalam hubungan dua kekasih.”
“Apa itu?”
“Saling percaya.”
Keningku malah berkerut. Mama lagi-lagi tersenyum. Lantas
menarik-hembuskan napas dengan tenang.
![]() |
gambar dari sini |
“Jangan sampai kau menyimpan sangka, bahwa hanya birahi yang
mendorong suami mengecup kening istrinya. Seorang suami tahu dan merasakan,
Zam, bahwa mengecup kening istri adalah cara dirinya mendapatkan ketenangan.
Dan engkau juga mesti mengingat, bahwa perempuan mau mencium tangan lelaki
bukan semata tentang siapa yang lebih tinggi derajatnya, tetapi itu adalah
tanda bahwa keikhlasan yang menuntunnya. Karena perempuan juga tahu, di tangan
suaminya ada ridho Tuhannya.”
“Ma,” kali ini aku
memberanikan diri untuk bertanya, “kenapa mesti kening atau tangan?” aku pun
merasakan betapa bodoh pertanyaan ini. Tetapi, mama tidak memperolok
pertanyaanku. Wajahnya seperti sudah dipahat Tuhan untuk menampilkan sesuatu
yang serupa namun tak membuat bosan: tersenyum.
“Zam, kening perempuan adalah sumber ketenangan dan semangat
bagi suami, karena kening adalah saksi dari ketaatan pada Tuhan.”
Kulihat bola mata mama mengilat. Tampak bersemangat dengan
kata-kata yang sedang dipahatnya pada dinding hatiku.
“Keninglah, Zam, yang menjadi perantaraan tunduk makhluk
pada Penciptanya. Keninglah bagian tubuh pertama yang mengaku, bahwa Tuhan
adalah tinggi sementara diri adalah rendah. Keninglah yang senantiasa bersujud,
Zam. Kening berada paling bawah, sebagai simbol bahwa tiada yang lebih tinggi
daripada Tuhan. Padahal engkau dan mama tahu, kening adalah bagian tubuh kita
yang paling tinggi.”
Aku bisa merasakan getaran suara mama yang bersemangat. Ia lantas
melanjutkan, “Maka pada kening perempuanlah Tuhan hembuskan sumber ketenangan. Maka
tak heran jika suami bisa merasakan ketenangan setelah mengecup kening
istrinya.”
“Lalu, apakah sama kondisinya dengan tangan suami yang dicium
istri, Ma?”
![]() |
gambar dari sini |
“Zam, perempuan mencium tangan suami bukan semata
menempelkan bibirnya. Ada doa yang ia pahatkan di tangan suami. Istri mencium
tangan suami semata meletakkan doa di sana, karena dengan tangan itulah
suaminya bekerja. Lewat ciuman di tangan suami, seorang istri sedang menghamba
pada Tuhannya, agar menjaga tangan suaminya dari hal-hal yang dibenci oleh-Nya.
Lewat ciuman yang diletakkan di tangan suami, seorang istri menitipkan doa agar
Tuhan menjaga tangan suami untuk tak mengambil yang bukan haknya. Lewat ciuman
yang disimpan di tangan suami, istri juga tengah mengiba pada Tuhan agar
menghembuskan kasih sayang pada tangan suaminya. Karena dengan tangan yang
diusap Tuhan melalui bibir istri, ia bisa membelai sayang, menenangkan, atau
bahkan menghapus air mata. Bukankah hanya tangan yang tak dibasuh Tuhan yang
mampu melayangkan hal-hal yang menyakitkan bagi jiwa dan badan?”
Ada rekah di bibir mama. Bibirku pun rekah.
“Maka, lekaslah kaucari perempuan yang keningnya diberkahi
oleh Tuhan.”
Senyumku yang semula rekah perlahan redup.
Bandung, 25 Okt 2012
[FATIH ZAM]
0 komentar:
Posting Komentar